Event menulis cerita tentang Ayah. Di buku ini aku menceritakan tentang sosok Papa yang masih dan akan selamanya kukenang dalam memoriku. :')
Senyuman Terakhir Papa
“Papa.”
Sebuah panggilan atau sebutan yang telah
lama hilang dari hidupku. Bukan karena aku benci ataupun trauma dengan sebutan
itu. Karena menurutku, aneh rasanya jika memanggil seseorang yang lain dengan
sebutan itu.
Sosok yang berwibawa, pendiam, tegas,
namun penuh kasih sayang. Dialah Papaku. Papa yang kukenal adalah Papa yang
terbaik di dunia. Meskipun terkadang sibuk dengan pekerjaannya, dia tak pernah
lelah mengajarkanku banyak hal tentang dunia dan sekitarku, mengajakku ke tempat-tempat
yang menyenangkan, melindungiku dari bahaya, selalu berusaha membuatku tertawa
dan merasa senang, serta membuatku terus merasa aman dan nyaman berada
didekatnya.
Dia tak pernah bosan untuk membuatku
merasa bahagia. Dia juga selalu mengajariku cara disiplin yang baik. Jika aku
berbuat salah, dia selalu menegurku dengan cara yang baik agar aku tidak
mengulangi kesalahan itu lagi. Yang selalu mengantarku ke sekolah, mengajariku
naik sepeda, dan memelukku disaat aku merasa sedih dan menangis.
Salah satu kejadian yang paling aku ingat,
saat di mana kaki Papa harus berdarah hanya karena tergores kursi plastik saat
ia berusaha untuk membangunkan aku yang masih ingin tertidur. Meski terluka dan
tampak kesakitan, Papa berusaha tetap tersenyum agar aku tidak merasa bersalah
padanya. Juga disaat aku dimarahi olehnya, lalu kemudian menangis dipelukannya.
Ada satu hal dalam diri Papa yang paling
bisa membuatku tenang, yaitu senyumannya. Entah mengapa, senyumannya yang
hangat itu selalu bisa membuatku merasa nyaman. Dan senyuman itu pun masih
terbayang dan menempel dipikiranku hingga tak terasa 14 tahun berlalu aku hidup
tanpanya ...
Sekitar 14 tahun yang lalu, pertengahan
tahun 2001 saat usiaku baru menginjak 6 tahun. Papa dipanggil oleh Yang Maha
Kuasa karena sebuah penyakit yang aku bahkan masih belum mengerti. Ia dirawat
di Rumah Sakit hanya dua hari sebelum kepergiannya.
Aku bahkan masih ingat jelas pagi itu,
sebelum aku berangkat ke rumah Nenek bersama seorang Tanteku. Dari arah dapur
kulihat Papa tersenyum ceria kepadaku.
Namun tak pernah terbayangkan olehku bahwa
saat itu merupakan saat terakhir kali melihat senyuman Papa yang begitu
menggelitik hatiku, seolah mengatakan kalau ia baik-baik saja dan sangat sehat,
seolah tak ada sedikitpun penyakit yang ia sembunyikan dibalik senyumannya itu.
Di siang harinya, aku yang saat itu berada
di rumah Nenek mendapat kabar bahwa kondisi Papa sangat lemah dan dibawa Mama
ke Rumah Sakit. Aku masih belum tahu dan mengerti separah apa kondisi Papa saat
itu. Dan karena masih anak-anak, dalam dua hari itu aku hanya sempat dua kali
diperbolehkan Dokter untuk bertemu dengannya, memeluknya, mencium pipinya, lalu
berdoa didekatnya. Meskipun hanya sebentar tapi aku cukup senang bisa melihat
Papa secara langsung.
Dua hari kemudian, akhirnya Papaku
menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit itu. Hampir semua keluargaku
merasa shock dan sedih dengan kepergiannya yang begitu tiba-tiba. Terlebih
Mamaku, yang empat bulan sebelumnya telah kehilangan adik laki-lakiku tak lama
setelah ia melahirkannya.
Apa yang aku rasakan saat itu? Entahlah,
yang jelas aku tidak menangis saat melihat jenazah Papa yang sudah kaku. Bukan
berarti hubunganku tidak dekat dengan Papa semasa hidupnya, karena bisa
dibilang sejak kecil aku lebih dekat dengan Papa dan jadi kesayangan Papa. Aku
pun hanya merasa heran, kenapa semua orang di rumah itu sedih dan menangis?
Kenapa Papa tidak bergerak? Dan kenapa semua orang menatapku dengan wajah
sedih?
Aku masih ingat pada saat aku tidak
sengaja berceloteh untuk menghibur Mama yang masih terlihat sedih setelah
kepergian Papa. Aku mengatakan bahwa sekarang Papa telah bahagia bersama adik
di Surga-Nya. Papa menjaga adik di sana, dan Mama menjagaku di sini, di dunia
ini. Setelah itu aku melihat Mama tampak terharu mendengarnya, dan ia berjanji
agar tetap kuat dan tegar untukku.
Tak pernah kusangka, bahwa senyuman ceria
yang aku lihat dua hari sebelumnya itu merupakan senyuman terakhir Papa, yang
tak pernah sedetikpun aku lupakan bahkan hingga usiaku beranjak remaja dan
dewasa.
Aku rindu saat-saat bahagia itu. Saat
belajar naik sepeda bersama Papa keliling kompleks perumahan, saat Papa
mengantarku ke sekolah, saat memotong rumput di belakang rumah bareng Papa,
saat bercanda dan tertawa riang bersamanya. Mungkin tidak banyak, karena saat
itu usiaku masih kecil. Namun aku tetap bersyukur bisa diberi kesempatan untuk
mengenal sosoknya, merasakan hangatnya kasih sayangnya, memahami segala
kebaikannya, serta menikmati semua yang pernah diajarkannya padaku.
Mengapa sebelumnya aku bilang Papaku
adalah Papa terbaik di dunia? Itu karena aku hanya mengenalnya hingga usiaku 6
tahun, usia anak-anak yang mungkin belum terlalu paham arti dari kasih sayang
itu sendiri.
Namun meski hanya 6 tahun, aku tetap
merasa bersyukur karena setidaknya bisa merasakan cinta dan kasih sayang yang
begitu berarti dari sosok seorang Ayah yang sangat baik dan hangat seperti
Papaku. Hingga saat ini pun aku masih ingat bagaimana wajah dan senyumannya
bahkan tanpa melihat fotonya. Semua kenangan baik ataupun buruk yang pernah
terjadi semakin terasa indah saat aku mengingat senyumannya yang ramah dan
hangat itu.
Untuk itu, hargailah sosok seorang Papa
atau Ayah. Bersyukurlah jika masih bisa menikmati lebih banyak waktu
bersamanya. Meskipun tumbuh tanpa sosoknya, bukan berarti aku tak paham dan
mengerti arti sosok seorang Ayah yang sesungguhnya. Bahkan sejak kecil, setiap
kali aku merasa telah menemukan sosok pengganti Papa dalam diri orang lain,
tetap saja kasih sayangnya terasa berbeda.
Dari keadaan yang aku lihat selama ini,
baik itu dari drama atau film yang pernah aku tonton yang bertemakan sosok
seorang Ayah. Mungkin seorang anak cukup sering merasa
kesal dan sedih jika melihat seorang Ayah yang tegas, terlebih lagi pada saat
marah dan seolah membentak tanpa perasaan. Namun dibalik semua ketegasannya itu
aku yakin ada rasa cinta dan kasih sayang yang begitu hangat dan tak bisa
dikalahkan oleh pria manapun di dunia ini.
I Love You Papa .... And I Miss You ... :)
***
0 comments:
Post a Comment