Saturday, February 4, 2023

Diagnosis Yang Membingungkan

Mungkin terasa aneh jika disebut demikian, karena pada dasarnya setiap orang tentunya ingin selalu tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Hal-hal yang membuatnya merasa sakit, terlihat berbeda dari yang lainnya, atau sekedar tahu alasan mengapa bisa begitu. 

Sejak kecil, bahkan saat usia Sekolah Dasar pun aku masih belum bisa sepenuhnya menyadari apa itu perbedaan. Sekalipun cukup sering merasa tidak mudah berbaur dengan anak-anak lainnya, terlebih bagi mereka yang langsung memandangi dengan tatapan aneh karena melihat kondisi fisik dan pergerakanku yang agak berbeda. Rasanya hal itu tak pernah menjadi alasanku untuk bertanya-tanya mengapa harus begitu. 

Tentu saja tidak akan menjadi semudah itu jika tidak terbiasa. Dalam pikiranku saat itu pun terkadang ada perasaan yang bisa saja membuatku berkecil hati, namun selalu berusaha kutepis dengan rasa percaya diri yang mungkin memang sudah tumbuh sejak aku kecil. Hanya bisa menganggap setiap pandangan aneh itu sebagai sesuatu yang tidak penting untuk digubris, agar aku dapat lebih mudah menghadapi hal yang sama dikemudian hari.

Memasuki usia remaja adalah saat di mana aku mulai mengalami dan menyadari cukup banyak perbedaan itu. Dengan kondisi yang semakin terbatas, ditambah ruang gerak yang semakin kecil dan sempit, secara tidak langsung ternyata mampu membuat rasa percaya diri itu perlahan mulai mengecil dan semakin kecil. 


Mengapa bisa jadi seperti itu? Ada banyak hal yang bisa merubah sifat seseorang, termasuk salah satunya adalah tentang situasi dan kondisi. Aku yang dulunya masih bisa melakukan banyak hal dengan mudah, bisa pergi ke tempat mana saja yang kuinginkan, yang masih bisa cuek pada hal-hal yang memang tidak perlu diladeni, bisa berbalik seiring berlalunya waktu.

Tapi itu bukan berarti saat ini aku benar-benar berada dalam kondisi terpuruk. Hanya saja, cukup banyak peristiwa yang terjadi selama ini membuatku menyadari bahwa tidak semua yang diinginkan bisa dicapai dengan mudah. Terkadang harus ada perjuangan, pengorbanan, air mata, bahkan rasa ikhlas jika memang yang diusahakan tidak seperti apa yang telah diharapkan sebelumnya. 


Seperti halnya ketika aku harus menjalani berbagai macam pengobatan sejak masih kecil dulu. Dimulai pada saat usiaku baru menginjak 4 bulan ketika bagian perutku tiba-tiba mengeras namun tidak terasa sakit, hingga berujung pada tindakan operasi disaat usiaku masih 1 tahun 5 bulan. 

Saat itu aku sempat divonis mengidap tumor air dibagian perut yang tidak boleh terlambat ditangani. Namun setelah operasi, belakangan diketahui ternyata sang dokter salah diagnosa. Tidak ada yang diangkat karena yang mengeras itu merupakan lapisan ketiga dari usus. Akibat dari operasi itu pun membuat kulit perutku mengencang dan tidak lentur seperti yang lainnya. Mau tidak mau karena memang sudah terlanjur, aku tetap harus menerimanya dan melanjutkan hidup kembali seperti anak-anak lainnya yang ceria walau dengan keterbatasan gerak. 

Entah karena pengaruh dari operasi atau bukan, proses pertumbuhanku ternyata cukup berbeda dari anak-anak lainnya. Walau dengan kondisi leher yang sedikit miring ke kiri dan kaki yang sedikit diseret ketika berjalan, di masa-masa kecil itu aku tetap senang dan bersyukur karena masih bisa bermain ceria dan bersekolah layaknya mereka yang tumbuh dengan normal.


Selanjutnya, ketika usiaku menginjak 12 tahun. Sebuah kejanggalan aneh yang tiba-tiba muncul dan menyerang pangkal paha kiriku, lalu kemudian siku dan bahu tangan kananku. Membuatku yang saat itu masih kelas 6 SD cukup kesulitan untuk berjalan dan menulis. Beberapa dokter spesialis hingga alternatif telah diusahakan, berbagai jenis pengobatan kimia maupun herbal pun sudah diupayakan, namun tetap saja tak kunjung ada perubahan yang signifikan. 

Singkat cerita, kejanggalan aneh itu secara perlahan mulai muncul pada bagian persendianku yang lainnya. Mulai dari ujung jari kaki, pergelangan, lutut, pangkal paha,  ujung jari tangan, pergelangan, siku, bahu, leher, bahkan rahangku pun nyaris semuanya diserang kekakuan. Gejalanya pun sering diawali dengan pembengkakan, kulit memerah, dan rasa panas disertai nyeri tak tertahankan. Setelah semua rasa itu hilang, akan berganti dengan kekakuan yang semakin mengunci pergerakanku. 


Soal diagnosis, oleh beberapa dokter ahli pada awalnya aku pernah divonis pengapuran otot, bahkan kanker otot. Adapun istilah Ankylosing Spondylitis yang termasuk dalam golongan penyakit autoimun, tapi belum ada penanganan yang serius untuk mengatasinya.

Sampai pada tahun 2018 lalu aku menemukan istilah Fibrodysplasia Ossificans Progressiva atau FOP, sebuah penyakit langka yang gejala awal dan efeknya nyaris sama persis dengan yang telah kualami selama ini. Bahkan ciri spesifik pada jempol kaki yang cacat sejak lahir pun aku memilikinya, namun saat lahir dulu dokter mengatakan kalau kondisi ini hanya pengaruh dari proses kelahiranku yang di vacuum. Baca kisahku tentang FOP selengkapnya DI SINI




Lepas dari semua masalah diagnosis yang membingungkan itu, dengan kondisi saat ini yang mungkin bisa dibilang sudah terlambat untuk ditangani. Aku bertekad untuk lebih menerima dan tak ingin menyalahkan apapun, atau siapapun juga. Aku pun berusaha untuk percaya bahwa apa yang terjadi padaku adalah sebuah suratan takdir yang memang sudah semestinya kulalui dengan ikhlas.

Mungkin memang kenyataannya tidak sesuai dengan apa yang diinginkan, karena pada dasarnya setiap orang juga pasti ingin selalu menjalani hidupnya dengan mudah, tanpa harus mengalami berbagai kesulitan juga rasa sakit. Aku pun menyadari bahwa perjalanan hidup dan takdir setiap orang berbeda-beda.


Kekuatan, kasih sayang, cinta dan semangat dari orang-orang terdekatlah yang bisa membuatku dapat tumbuh sebagai anak yang ceria dan bahagia menikmati masa-masa kecil penuh warna. Hingga kemudian melalui berbagai rintangan yang muncul saat menginjak usia remaja, dewasa, dan mampu bertahan bahkan hingga detik ini. 


Mau baca juga kisah lainnya tentang hidupku? Klik postingannya DI SINI yaa! ^^

Thursday, February 2, 2023

The Real My Life Story

 Aku, dan berbagai diagnosa.


Membaca judul itu mungkin terasa agak aneh ya. Ketika seseorang yang sejak kecil telah memiliki kelainan, namun seiring waktu bertumbuh dengan segala keterbatasan yang membuatnya semakin tidak leluasa untuk bergerak. Merasa tubuhnya secara perlahan berubah bagai patung yang membatasi nyaris seluruh pergerakannya, bahkan hingga terasa sulit untuk sekedar menemukan posisi yang nyaman untuk beraktivitas maupun bersantai.

Tanpa bermaksud apa-apa dan hanya ingin sekedar bercerita, hal itulah yang selama ini telah terjadi padaku. Hingga usiaku menginjak 12 tahun setidaknya aku masih merasakan masa-masa indah dapat tumbuh dan berkembang dengan ceria seperti anak-anak lainnya tanpa kesulitan, meskipun sudah jelas ada beberapa kondisi yang membuatku terlihat sedikit berbeda dari mereka yang memiliki kondisi fisik normal.

Sejak usia 12 tahun itu, karena sebuah kejanggalan yang muncul secara tiba-tiba, aku mendapat berbagai macam diagnosa oleh Dokter. Segala ekspresi mulai dari yang terlihat bingung dan heran ketika melihat kondisiku, hingga yang terkesan angkat tangan, menyerah dan hanya menyarankan sebaiknya aku dirawat saja dengan baik untuk menghindari berbagai pengobatan yang nantinya hanya akan membuat kondisiku semakin parah dan lebih banyak menderita karena efeknya.

Hingga 15 tahun berlalu, selama waktu itu aku pun mulai mengenal berbagai jenis penyakit yang kondisi penderitanya terlihat cukup mirip denganku. Mulai dari Cerebral Palsy (CP) yang ternyata juga memiliki beberapa tipe atau jenis tertentu menurut kondisi pasiennya, kanker Lymphoma yang dulu juga sempat disebut karena memiliki kondisi yang mirip denganku, pengapuran otot, bahkan kanker otot, yang pada akhirnya membuatku berhenti untuk menjalani berbagai pengobatan medis.

Adapun istilah penyakit lainnya yang menurutku cukup mirip dengan kondisiku, yang juga berdasarkan diagnosa dari beberapa Dokter ahli Ortopedi saat aku kembali menjalani pengobatan medis pada saat usiaku 19 tahun. Dimulai dari Ankylosing Spondylitis (AS) atau Juvenile Spondyloarthropathy (JS) yang termasuk dalam golongan autoimun, hingga sebuah penyakit langka yang ternyata masih sangat jarang ditemukan, bernama Fibrodysplasia Ossificans Progressiva (FOP).

***


Fibrodysplasia Ossificans Progressiva.

Pertama kali aku mendengar istilah penyakit itu pada sekitar tahun 2018, saat menonton sebuah acara di televisi. Kulihat seorang gadis dengan kondisi yang nyaris seluruh bagian otot dan persendiannya kaku atau sulit digerakkan, termasuk rahangnya juga.

Setelah itu aku pun mulai tertarik untuk mencari informasi mengenai penyakit yang biasa disingkat FOP itu di internet, hingga akhirnya menemukan beberapa video dari beberapa orang yang serupa di youtube.


Menurut beberapa artikel yang kubaca di internet, FOP ternyata merupakan istilah dari suatu penyakit kronis yang menyerang otot, tendon, dan ligamen. Penyakit yang tergolong sangat langka, bahkan menjadi satu-satunya jenis penyakit yang membuat suatu organ penderitanya dapat berubah menjadi bentuk yang lain. Saking langkanya kasus tentang penyakit ini, perbandingannya bisa mencapai 0,5 kasus per juta orang, atau 1 banding 2 juta jiwa di seluruh dunia.

Cedera yang dialami pengidap FOP ini dapat mengakibatkan tulang tumbuh di luar kerangka yang semestinya, dan bertambah parah secara bertahap jika mulai menyerang ke organ-organ lainnya. 

Diawali dengan pembengkakan dan rasa panas serta nyeri luar biasa pada bagian tubuh tertentu yang biasa disebut dengan istilah "Flare Up". Lalu kemudian disaat semua rasa sakitnya mulai mereda, bagian persendian yang diserang akan berubah menjadi kaku, seolah terkunci, dan tak mampu leluasa digerakkan lagi (Baca ceritaku tentang Flare Up DI SINI).

Aku saat usia sekitar 0-4 tahun


Gejala penyakit FOP umumnya sudah terlihat sejak bayi baru dilahirkan, yakni dengan ibu jari kaki yang cacat atau tumbuh ke arah yang berlawanan dengan jari-jari lainnya. Kondisi ibu jari kakiku sendiri pun mengalami hal yang serupa sejak aku lahir. Namun para Dokter, Orangtuaku maupun keluargaku lainnya tak pernah ada yang menganggap hal itu sebagai kondisi yang serius dan tak perlu dikhawatirkan. Kelainan yang sama pun terjadi pada bagian leherku, yang terlihat sedikit miring ke kiri.

Secara umum meski memang ada beberapa kendala fisik, dalam masa pertumbuhan itu aku tetap dapat tumbuh sehat dan ceria seperti anak-anak lainnya. Kendala fisik yang dimaksud itu mulai dari tidak adanya keseimbangan saat akan terjatuh, berjalan dengan sebelah kaki yang terlihat lebih pendek dan seperti diseret, kesulitan saat duduk melutut dengan melipat kedua kaki, tak mampu menoleh terlalu banyak ke kanan atau ke kiri, tak bisa melompat tinggi dan berlari kencang, atau sekedar mencoba untuk mengikat rambut sendiri.

Semua hal itu terjadi karena adanya beberapa persendian seperti dibagian leher, siku dan lutut yang terasa sedikit kaku, serta bagian ototnya yang tidak mengalami kelenturan. Namun, dimasa kecil yang indah itu aku merasa tidak ada masalah yang berarti meski harus menjalani hidup dengan kondisi yang terbatas, dan tidak sebebas anak-anak lainnya.


Seiring waktu berlalu, entah mengapa rasanya pergerakanku semakin terbatas walau pada saat itu belum menjadi sesuatu yang mengkhawatirkan. Kehidupanku tetap nyaris normal seperti anak-anak yang tumbuh dengan fisik yang sehat lainnya. Bermain, beraktivitas, dan belajar di sekolah umum tanpa harus merasa malu ketika ada yang mengejek, ataupun memandangku dengan tatapan yang aneh.

Hingga pada saat usiaku menginjak 12 tahun atau kelas 6 SD, suatu keanehan mulai muncul tepatnya pada pangkal paha kiriku, yang membuatku cukup kesulitan untuk berdiri tegak ataupun berjalan dengan posisi tegap.

Beberapa bulan kemudian, kejanggalan itu kembali terlihat pada lengan kananku, yang membuatku cukup sulit untuk menulis di atas meja, sehingga harus menggunakan papan alas ujian agar bisa menyesuaikan posisi tanganku yang mulai kaku dan sulit digerakkan.

Bersamaan dengan itu, secara tiba-tiba aku pun merasakan sakit gigi yang cukup parah, hingga membuat pipiku bengkak sebelah. Saking sakitnya, disetiap malam aku sering dibuat menangis karena tak mampu menahannya. Berbagai jenis obat sudah dicoba, namun rasa sakitnya tak kunjung mereda.

Sekitar satu minggu setelah sakit gigi itu mulai menghilang, rahangku mulai terasa kaku. Rasanya seperti ada tarikan ketika aku mencoba menutup mulut sambil mendongakkan kepala ke arah atas. Saat menyikat gigi pun aku hanya bisa menggunakan sikat gigi kecil. Termasuk juga saat makan, aku mulai menggunakan sendok kecil (Baca kisahku DI SINI).


Pada semester akhir kelas 6 SD, jujur saat itu merupakan awal dari masa-masa tersulit bagiku untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Selain harus menjalani berbagai macam pengobatan baik secara medis maupun nonmedis, aku juga tetap harus giat belajar untuk mengikuti ujian tahap akhir sekolah (Ujian Nasional) yang saat itu hanya tersisa beberapa bulan lagi. 

Meski tidak setiap hari bisa datang dan mengikuti pelajaran di sekolah, aku tetap berusaha agar tidak ketinggalan pelajaran dengan mempelajari beberapa materi yang diberikan guru atau salinan catatan dari buku milik temanku.


Sejak keanehan atau kejanggalan itu mulai muncul pada beberapa bagian persendianku, awalnya aku dibawa periksa ke Dokter spesialis ahli tulang namun belum mendapatkan diagnosa yang pasti. 

Lalu kemudian aku dirujuk lagi ke beberapa Dokter yang berbeda, hingga akhirnya oleh seorang Dokter spesialis syaraf aku divonis mengidap suatu penyakit sejenis kanker otot, dengan suatu keadaan medis yang nantinya secara bertahap akan membuat seluruh otot dan persendianku berubah menjadi kaku dan keras bagai tulang.

Bahkan saat itu sang Dokter sampai mencari istilah medis itu di kamus kedokteran miliknya, dan menjelaskan bahwa jenis penyakit yang kuderita ini tergolong sangat langka dan belum ada obatnya. 

Lalu kemudian beliau memintaku untuk menggerakkan beberapa bagian persendianku yang saat itu masih bisa kugerakkan, mulai dari ujung jari kaki, pergelangan kaki, lutut, pangkal paha, lalu dari ujung jari tangan, pergelangan tangan, siku, bahu, sampai leher dan terakhir di rahangku.

Saat itu bagian tubuhku yang mulai terasa kaku adalah leher, rahang, kedua lutut, pangkal paha kiri, serta pergelangan dan siku tangan kanan. Sang Dokter pun menyarankan agar aku lebih sering bergerak dan melatih semua anggota persendianku untuk memperlambat proses kekakuan itu.

Namun karena tidak ingin terlalu percaya pada vonis tersebut, keluargaku pun sepakat untuk mencoba beralih ke pengobatan alternatif atau nonmedis saja. Mulai dari terapi urut, obat-obatan herbal, berbagai macam suplemen makanan, hingga jamu yang rasanya luar biasa pahit, semuanya dilakukan demi kondisiku agar setidaknya bisa membaik sebelum menghadapi ujian akhir SD dan juga tes masuk SMP nantinya.

Aku saat usia sekitar 10-12 tahun


Beberapa minggu sebelum Ujian Nasional (UN) tahun ajaran 2006/2007 saat itu, aku diusahakan untuk bisa hadir di sekolah karena harus mengikuti beberapa tahap ujian akhir sebelum UN. Berusaha untuk tetap terlihat baik-baik saja, terkadang aku mencoba berjalan sendiri dengan cara menunduk setengah berlari karena cukup kesulitan melakukannya dengan posisi tegap. Rasanya seperti ada tarikan dibagian pangkal paha kiriku, yang membuatku terpaksa harus sedikit menunduk dan berlari kecil agar setidaknya bisa menutupi kesulitan itu.

Selain pangkal paha, seperti yang sudah kukatakan diawal tadi, saat itu persendian dibagian bahu dan siku tangan kananku pun mulai diserang kekakuan. Membuatku harus menggunakan papan alas ujian di atas meja agar bisa tetap menulis dengan mengikuti posisi tanganku yang mulai sulit digerakkan. Terkadang juga, aku terpaksa berhenti sejenak karena rasa sakit dan pegal ditanganku, atau bahkan meminta bantuan pada temanku yang menulis soal dari papan tulis, agar aku cukup menulis jawabannya saja.

Terkadang, ada perasaan sedih karena tidak bisa menikmati saat-saat terakhir di sekolah bersama dengan sahabat juga teman-teman lainnya. Namun aku bersyukur karena mereka selalu hadir memberiku semangat serta menawarkan bantuan jika aku merasa kesulitan bahkan tak mampu melakukannya. Meski mereka tak tahu apapun tentang sesuatu yang terjadi padaku, tapi mereka mampu membuatku sejenak melupakan segala hal yang menyulitkan tentang penyakit ini.

Hingga akhirnya saat tiba waktunya Ujian Nasional, selama 2 minggu kami harus berjuang agar setidaknya bisa mendapatkan nilai terbaik, dan lulus dari Sekolah Dasar dengan hasil yang memuaskan.


Beberapa minggu setelah ujian itu, aku akhirnya berhasil lulus dari Sekolah Dasar. Saat itu sempat ada rencana juga untuk melanjutkan ke bangku berikutnya di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Namun beberapa minggu setelah mendaftar dan menjelang tes masuk, kondisi kakiku yang tadinya masih cukup mudah kugerakkan, malah jadi semakin kaku dan membuatku semakin sulit berjalan. Yang tadinya kedua kaki merapat, justru makin melebar dan tidak bisa dirapatkan. 

Hingga pada akhirnya, karena masih harus mengikuti berbagai tahap pengobatan, aku pun harus rela melepas impian itu dan memutuskan untuk belajar hanya di rumah saja lewat buku-buku pelajaran yang ada.

***


Sejak mulai sakit di awal tahun 2007 itu, aku sudah mulai menghabiskan waktuku lebih banyak di rumah, begitupun setelah lulus dari Sekolah Dasar. Berusaha melakukan kegiatan apapun yang setidaknya masih bisa kulakukan sendiri tanpa bantuan.

Mulai dari nonton, menulis cerpen atau novel, menggambar, melukis, bermain keyboard, mendengarkan lagu sambil menulis not angka lagu, bermain rubiks, atau kegemaran lainnya yang menjadi favorit saat mengisi hari-hariku di rumah untuk sekedar mengusir rasa bosan karena hanya bisa menikmatinya seorang diri, tanpa adanya saudara atau teman seperti halnya di sekolah.


Oh iya, aku merupakan anak tunggal yang lahir di kota Dili, Timor Timur (Leste), tepatnya pada tanggal 19 Februari 1995. Aku terlahir normal, namun dengan kondisi kedua ibu jari kaki yang sedikit berbeda atau lebih tepatnya membengkok ke arah dalam.

Diusiaku yang ke 4 bulan, mulai terlihat ada kelainan pada bagian perutku yang mengeras, tapi tidak terasa sakit. Saat itu kedua Orangtuaku membawaku berobat ke kota Makassar, yang juga merupakan kampung halaman keluarga kami. Di sana aku sempat dititipkan pada Nenek selama beberapa bulan karena Papa dan Mama harus kembali ke kota Dili untuk bekerja.

Selama berada di kampung, setelah beberapa kali menjalani terapi urut mulai terlihat ada sedikit perkembangan dan perutku tidak mengeras lagi. Namun karena masih merasa khawatir dengan kondisiku, diam-diam tanpa sepengetahuan kedua Orangtuaku, Nenek pun mencoba memeriksakan aku ke seorang Dokter spesialis anak.

Dan hasilnya, setelah diperiksa ternyata aku divonis mengidap penyakit sejenis tumor air dibagian perut dan harus segera dioperasi secepatnya. Tak sampai 3 hari batas waktu yang diberikan Dokter, setelah mendapat kabar ini Papa dan Mamaku pun langsung kembali ke Makassar hingga akhirnya operasi itu dilaksanakan.

Setelah proses operasi yang berjalan lancar itu, ternyata ada kesalahan diagnosa dari Dokter yang mengatakan bahwa tidak ada yang bisa diangkat, karena katanya yang mengeras itu adalah lapisan ketiga dari usus yang bila diangkat hanya tersisa kulit saja.

Meski hal ini sudah jelas membuktikan bahwa vonis tumor air yang dikatakan Dokter sebelumnya itu adalah sebuah kesalahan yang sangat fatal atau bisa juga disebut sebagai kasus dugaan Malapraktek, namun pada akhirnya keluargaku memutuskan untuk menerima kondisiku dan tidak ingin memperpanjang masalah ini. Walau sempat juga ada keluarga dari pihak Papa yang merasa keberatan, namun setelah diberi pengertian oleh Papa mereka pun tidak lagi melanjutkannya, mengingat kondisiku pasca operasi juga yang sudah semakin membaik. Dan beberapa minggu setelah operasi itu, aku pun dibawa Papa dan Mama kembali ke kota Dili.


Diusiaku yang menginjak 4 tahun, karena berbagai kerusuhan akibat dari adanya kecemburuan sosial yang terjadi pada masa pemerintahan orde baru di daerah provinsi Timor Timur saat itu, akhirnya aku bersama keluargaku kembali dan menetap di kota Makassar, tempat di mana sebagian besar dari keluargaku tinggal. Dan beberapa bulan kemudian, aku pun didaftarkan masuk sekolah Taman Kanak-kanak (TK) di kota tersebut.

Hari keempat di tahun 2001, mau tidak mau aku harus kehilangan adik laki-laki yang sudah sangat kunantikan kehadirannya, karena ternyata ia tidak selamat dalam kelahirannya. Dan selang 4 bulan kemudian masih di tahun yang sama, Papa yang sangat kucintai pun ikut pergi menyusulnya karena sebuah penyakit yang terlambat diketahui. Beliau hanya 2 hari dirawat di Rumah Sakit sebelum akhirnya pergi untuk selamanya. Aku yang saat itu masih berumur 6 tahun pun belum terlalu mengerti apa yang terjadi. Dan sejak saat itu juga, aku dan Mama pun akhirnya tinggal di rumah Orangtua Mama, Kakek dan Nenekku.

***


Beberapa tahun kemudian, sekitar tahun 2010 secara tiba-tiba tangan kiriku diserang pembengkakan (Flare Up) mulai dari atas bahu perlahan menjalar sampai ke ujung jari tangan kiriku, yang pada akhirnya membuat bahu, siku, pergelangan, serta kedua jari tangan kiriku berubah menjadi kaku dan sulit digerakkan. Kondisi ini pun membuat ruang gerakku semakin terbatas untuk sekedar mengetik di keyboard laptop, atau menggunakannya untuk makan karena sebelumnya tangan kananku juga sudah kaku dan tak bisa ditekuk lagi.

Seiring waktu, tak hanya beberapa bagian persendian. Kekakuan itu membuatku bahkan tak mampu menyeimbangkan tubuh dan terlalu sering dalam posisi duduk. Akibatnya, kondisi tulang belakangku yang semula tegak, secara perlahan membengkok ke arah kanan sehingga siku kiri akhirnya semakin menyentuh paha kananku. Hal ini terjadi selama bertahun-tahun dan menjadi semakin parah sehingga membuat pernafasanku pun mulai terganggu.


Tahun 2014 aku kembali menjalani pemeriksaan disalah satu Rumah Sakit di kota Makassar, tepatnya ke spesialis ahil bedah Ortopedi. Mulai dari rontgen hingga CT-scan, hasilnya Dokter itu mendiagnosa suatu penyakit bernama Ankylosing Spondylitis, sejenis penyakit sendi yang termasuk dalam golongan autoimun. 

Selain itu, dari hasil CT-scan juga terlihat adanya keretakan dibagian panggul kiriku yang membuatnya tampak berbeda. Namun akhirnya kami memutuskan untuk tidak melanjutkan pengobatan lagi, karena satu-satunya solusi yang disarankan Dokter saat itu yakni pemasangan sendi buatan diarea panggul biasanya dilakukan untuk pasien di atas usia 40 tahun, sedangkan waktu itu usiaku baru menginjak 19 tahun.


Flare Up pada kaki kanan, lalu kiri (2018)


Awal tahun 2018, Flare Up itu kembali menyerang kaki kananku. Dimulai dengan pembengkakan secara tiba-tiba dibagian paha kananku, lalu menurun ke lutut, betis hingga pergelangan dan jari kaki kananku. Disertai rasa nyeri luar biasa tak tertahankan, membuatku nyaris tak bisa tidur di malam hari karena saking sakitnya.

Beberapa hari setelah menjalani berbagai pemeriksaan dan pengobatan, bengkaknya pun mulai mereda. Namun seperti yang terjadi pada tangan dan rahangku, kondisinya tetap berakhir dengan kaku dibagian persendian lutut kananku yang semakin tak bisa ditekuk, membuatku jadi semakin sulit untuk berjalan.

Tak sampai disitu, kekakuan ini juga kembali menyerang kaki kiriku, tepatnya dibagian pergelangan dan jari-jari kaki. Diawali dengan bengkak dan rasa nyeri luar biasa, lalu kemudian setelah itu persendiannya mulai mengeras dan semakin sulit untuk digerakkan atau ditekuk lagi.

Kondisi ini pun membuat pergerakanku menjadi semakin terbatas. Bahkan hanya untuk bangkit berdiri dan berjalan saja aku harus memerlukan bantuan. Tidak seperti sebelumnya yang meski hanya dengan posisi setengah berdiri, aku masih bisa bangkit dan berjalan sendiri tanpa dipegang.


Dan di tahun 2018 ini juga, setelah beberapa tahun akhirnya aku kembali menjalani pemeriksaan di Rumah Sakit. Mulai dari spesialis Ortopedi, jantung, lalu berakhir ke ahli immunologi dan mendapat diagnosa Juvenile Spondyloarthropathy.

Diagnosa tersebut juga rupanya masih berasal dari diagnosa sebelumnya di tahun 2014 lalu. Perbedaannya terletak hanya pada golongan umur atau tepatnya remaja. Sempat beberapa kali menjalani fisioterapi dan minum beberapa jenis obat, namun karena tidak kunjung adanya perubahan akhirnya aku pun memutuskan untuk tidak ingin melanjutkan pengobatan itu lagi.

***


Aku pun jadi teringat kembali pada seorang Dokter spesialis syaraf yang mendiagnosaku ketika usiaku masih 12 tahun. Saat itu bahkan ia sampai membuka kamus kedokteran miliknya dan menyebutkan istilah dari sebuah penyakit dalam bahasa medis. Mengingat bahwa sebelumnya ia memintaku menggerakkan seluruh bagian persendianku, dan berpesan bahwa aku harus sesering mungkin berlatih menggerakkannya, aku jadi berpikir bahwa mungkin saja diagnosanya saat itu juga adalah FOP, atau Fibrodysplasia Ossificans Progressiva.

Aku saat usia sekitar 18-27 tahun


Jika ada pertanyaan mengapa saat itu aku tidak melanjutkan pengobatan setelah dirujuk ke Rumah Sakit besar, karena Dokter itu mengatakan bahwa penyakit ini adalah sejenis kanker otot dan belum ada obatnya.

Dan karena mengingat saat kecil dulu aku juga pernah menjadi korban Malapraktek akibat dari kesalahan diagnosa seorang Dokter, Orangtua dan keluargaku pun akhirnya memutuskan untuk beralih ke pengobatan alternatif (non medis), yang pastinya juga dengan berbagai pertimbangan sebelumnya.


Berawal dari sebuah kejanggalan misterius yang membuat pergerakanku menjadi semakin terbatas dari tahun ke tahun. Rasanya seperti saat kau ingin bergerak, kau yakin bisa bergerak, namun tubuhmu seolah terkunci sehingga membuatmu tak mampu melakukannya.

Hingga kini, aku masih bertahan dan berjuang melawan penyakit itu. Dengan kondisi yang jelas tidak mudah untuk dijalani, namun tetap berusaha disyukuri karena setidaknya aku masih diberi kesempatan untuk menikmatinya dengan baik.


Saturday, January 28, 2023

Keep Positive! Karena semua yang terjadi pasti ada hikmahnya. :)


BERSYUKUR.

Di dunia ini tak ada yang luput dari pengawasan Allah subhanahu wata’ala. Hanya Dia-lah yang Maha Mengetahui semua yang terbaik bagi setiap makhluk-Nya. Tak ada hal yang terjadi secara tiba-tiba, pun secara kebetulan.

Termasuk penyakit. Sekalipun langka, yakinlah Dia tak akan menciptakan suatu masalah tanpa solusi, yang sama halnya dengan suatu penyakit tanpa obatnya.

Serupa denganku. Kondisi aneh yang awalnya dikira cuma salah urat biasa, lalu kemudian syaraf kejepit, dari hasil rontgen sempat dikira tulang rusuk kiri-kanan disangka beda jumlah (ini yang paling absurd), lanjut ke diagnosa pengapuran otot, radang otot, bahkan sampai divonis kanker otot, terus melebar hingga dikira kanker lymphoma dengan berbagai kondisi yang terlihat mirip.

Padahal diri masih ngerasa baik-baik aja sekalipun tanpa minum obat dari Dokter. Hanya konsumsi herbal atau suplemen makanan yang belum makan apapun aja udah terasa kenyang, atau jamu kental yang belum diminum aja udah kerasa paitnya.
Hanya saja, meski sadar kondisi fisik mulai berubah secara perlahan, namun pikiran tetap positif dan berusaha tak menganggapnya serius. Istilahnya takut, tapi tetap santuy. :D

Usiaku saat itu masih 12 tahun. Saat-saat terakhir masa SD, berusaha mengejar UN dengan harapan lulus dengan nilai memuaskan. Yang harusnya lebih rajin datang ke sekolah dan mengikuti pelajaran tambahan, justru sebaliknya, penyakit ini membuat jumlah izin sakitku melonjak. Lebih banyak belajar di rumah, sembari tetap ikhtiar berobat dengan berbagai macam bentuknya. 

Umur segitu, jujur aku masih merasa anak-anak. Apapun yang tak sesuai keinginan terasa menyebalkan, termasuk disaat keinginan otak memerintah anggota tubuh untuk bergerak namun jaringan otot tak mengizinkan. Ingin marah, tapi percuma juga. 

Ingin juga rasanya teriak, ngamuk, nangis, namun hati kecil berkata harus kuat karena masih sadar bahwa diri tidak sendiri. Ada Mama, serta keluarga lainnya yang hadir menguatkan. (Ingat seseorang? :D)

Oke, balik lagi...
Seraya hari berganti minggu, bulan, hingga ke tahun tanpa terasa. Secara bertahap namun pasti, nyaris seluruh persendian yang tadinya lentur dan mudah digerakkan, berubah menjadi kaku dengan kondisi tetap. 
Diawali dengan rasa nyeri, panas dan bengkak yang sangat menyiksa selama berhari-hari, hingga pada akhirnya ketika senua rasa sakit itu berangsur hilang, digantikan dengan perubahan otot yang mengeras bagai tulang. 
Sekalipun syarafnya masih terasa, namun jika digerakkan paksa, akan patah dengan sakit yang tak terhingga, meski hanya cukup dengan membayangkannya saja.

Tak hanya itu, bahkan hingga rahangku pun menyatu dan tak mampu kubuka lagi. Baca ceritaku selengkapnya DI SINI

Sempat diurut tapi gak mempan, diperiksa gak nemu solusi, bahkan diterapi pun hanya membuatku menjerit kesakitan. Aku bahkan sampai pada titik 'yang penting masih sanggup bertahan melalui fase bengkak menuju kaku itu saja rasanya sudah Alhamdulillah sekali.' Hanya itu.

Sampai di sini masih bingung, yang bener tuh nama penyakitnya apa?

Adapun disuatu hari, sempat dikira kerasukan. Kesurupan atau diganggu makhluk aneh apa gitu.
Mata merah dikira marah, natap orang lain pun jadi serba salah karena dikira dalam diri ada yang salah.
Terus katanya ada sejenis makhluk “astral” yang nemenin, tapi katanya gak ganggu juga. Karena memang gak ngerasa dan gak ngeliat, jadinya santai aja.
Sampai yang katanya makhluk lain itu akhirnya pergi, dan menurutku rasanya tetep nggak ada yang beda.

Sampai di sini pun masih bimbang, yang bener tuh versi medis atau nonmedis?

Adapun istilah Cerebral Palsy (CP) serta Muscular Distrophy (MD). Suatu penyakit yang berpusat pada otak, akibat kerusakan otak hingga mempengaruhi sistem syaraf, yang beberapa ciri-cirinya agak mirip dengan kondisiku.

Lalu 7 tahun kemudian, istilah Ankylosing Spondylitis (AS) pun terdengar dari seorang Dokter ahli bedah Ortopedi. Gejala serta kondisinya pun lumayan cocok denganku, namun ternyata solusi pemasangan sendi buatan yang diberikan tak mampu membuatku berharap terlalu jauh.

Hingga 4 tahun kemudian, istilah Juvenile Spondyloarthropathy (JspA) dari seorang Dokter spesialis penyakit dalam pun semakin melengkapi. Dan setelah browsing di Gugel, ketemu sejumlah penjelasan yang terlihat asing, namun jika dihubungkan ke fisikku, benar-benar tak terasa asing.

Dan kini, aku kembali "dipertemukan" dengan istilah Fibrodysplasia Ossificans Progressiva, atau yang biasa disingkat FOP. Satu-satunya jenis penyakit di dunia yang kondisinya dapat merubah suatu organ menjadi bentuk lainnya. Pengidapnya pun masih terus dicari, sekitar 0,5 kasus per juta orang atau satu banding dua juta jiwa.

Berawal dari saat aku melihat sebuah  tayangan di TV, membuatku penasaran karena kondisi pasiennya yang sangat mirip denganku.
Dam setelah mencoba mencari informasi di gugel, ternyata penyakit ini memang tergolong sangat langka dan masih terus diteliti oleh para ahli. 

Kalau dilihat dari gejala dan ciri-cirinya, sepertinya istilah FOP ini sangat cocok denganku. Mulai dari jempol kaki yang cacat sejak lahir, kekakuan pada nyaris seluruh bagian otot dan persendian, bahkan hingga leher dan rahang pun diserang kekakuan. 
Selain itu, gejala-gejala sebelum kaku juga seringkali diawali dengan pembengkakan, nyeri luar biasa, rasa panas dan kulit memerah pada bagian yang akan diserang kelakuan otot. Dan ini terjadi padaku berulang-ulang sebelum akhirnya hampir semua pergerakanku semakin terkunci. 

Kisahku yang lainnya seputar penyakit FOP dengan berbagai ciri-cirinya, baca DI SINI ya. 

Aku pun baru sadar, ternyata memang ada ya istilah penyakit dengan kondisi yang seperti itu. Hanya saja banyak dari mereka kondisinya terlihat lebih ringan karena lebih cepat ditangani, yakni ketika terdeteksi dini sebelum kekakuan itu menyebar ke anggota tubuh lainnya. 180 derajat sangat jauh berbeda denganku.

Cuma bisa berdoa. Berharap, jangan sampai ada aku aku yang selanjutnya, begitupun kata sang Dokter yang memberikan vonis AS itu terakhir kali, beberapa tahun yang lalu.

Penyakit adalah ujian. Tak ada yang bisa menolaknya jika memang itu sudah ditakdirkan untuk seseorang. Hanya bisa terus berdoa, berharap dan berusaha menemukan solusi terbaik agar bisa segera sembuh dan sehat kembali seperti sedia kala, bahkan jika harus menunggu waktu yang entah sampai kapan. 

Yakin dan percaya, bahwa Allah tidak akan memberikan ujian diluar kesanggupan hambaNya. Bersama kesulitan ada kemudahan.



Keep positive thinking! Tetap semangat! Karena semua yang terjadi pasti ada hikmahnya. Innallaha ma’asshobirin. 😊

Sunday, January 15, 2023

Perbedaan Yang Membuatku Bersyukur


Perbedaan yang membuatku bersyukur


Berbeda. Itulah diriku. Yang terlahir normal, namun ternyata memiliki kelainan fisik setelah usiaku menginjak 4 bulan. Panggil saja aku Indah. Itu adalah nama sapaan dari Winda Aulia Saad. Sebuah nama yang diberikan orangtuaku sejak bayi. Aku lahir pada tanggal 19 Februari 1995 di kota Dili. Sebuah kota yang saat itu masih merupakan ibukota dari provinsi Timor Timur (Indonesia), atau yang kini telah berganti nama dan wilayahnya menjadi negara Timor Leste.

Sejak kecil, aku memang sudah tampak berbeda dengan anak-anak seusiaku lainnya. Disaat bayi-bayi seusiaku lainnya sudah bisa merangkak, aku hanya bisa duduk diam dipangkuan Mama. Disaat aku melihat teman-temanku bisa berlari cepat, aku hanya bisa ikut berlari walaupun itu sangat lambat. Dan disaat orang-orang mengatakan bahwa aku berjalan agak pincang, aku justru tidak pernah merasa aneh jika berjalan, meskipun pada faktanya memang kakiku terlihat seperti diseret.

 Makassar, 1997

Aku memang memiliki kekurangan, yang sejak kecil sudah biasa kuanggap sebagai teman hidupku. Namun kekurangan tersebut justru membimbing aku untuk tidak gampang menyerah dan putus asa atas keadaan apapun yang kualami. Aku masih merasa normal dan pastinya sehat. Aku bahkan tidak pernah mempermasalahkan keterbatasan gerak yang kumiliki. Walaupun begitu, aku bersyukur karena terlahir dengan organ dan anggota tubuh yang lengkap. Aku bersyukur dengan semua itu. Sangat bersyukur. Aku pun selalu berusaha untuk mengacuhkan semua ejekan dari teman-teman saat di sekolah. Meskipun berat, pandangan sinis mereka selalu berusaha kubalas dengan senyuman yang ramah.

Di masa Sekolah Dasar, jika dibandingkan dengan anak-anak lainnya, mungkin aku bisa dibilang anak yang pemalu dan cukup pendiam. Namun hal itu terjadi pada saat mereka belum mengenal diriku yang sebenarnya. Terkadang aku juga bisa menjadi anak yang pecicilan, cerewet, dan tidak bisa diam. Aku tidak pernah sekalipun mempermasalahkan apa yang berbeda dari diriku, dengan teman-temanku yang lain. 

Semasa kecil, aku juga masih tergolong anak yang cerewet dan ceplas-ceplos. Tidak ada bedanya dengan anak-anak normal yang tidak bisa diam.

Makassar, 2000

Tentang keluarga, sahabat, maupun orang-orang yang dekat denganku, dimasa-masa kecil itu sekalipun aku merasa tidak berbeda. Namun ada kalanya aku merasa sulit jika harus duduk sopan ataupun bersila seperti mereka, yang sangat mudah melakukannya. Kedua lututku sangat sulit jika dilipat tekuk, apalagi jongkok.
Bahkan, aku pernah bertanya-tanya dalam hati, “Bagaimana rasanya orang-orang itu duduk sopan dan bersila tanpa rasa sakit, dan tanpa harus disusahkan dengan kedua lutut yang kaku?”

Mungkin, pertanyaan itu hanya sebuah pikiran anak-anak yang ingin tahu saja. Tapi yang jelas, aku tidak pernah merasa rendah diri jika duduk bergabung bersama mereka yang normal, meskipun seringkali mereka heran melihat posisi dudukku yang aneh. 

Terlebih saat aku masih belajar mengaji di Masjid. Saking herannya teman-teman melihatku, mereka sampai ada yang menertawakanku. Tapi, ya sudahlah. Buat apa aku mempermasalahkan hal itu. Semua manusia kan nggak ada yang sempurna. Karena yang sempurna itu hanyalah Sang Pencipta.

9 tahun (2005)

 12 tahun (2007)

Masa-masa sekolahku memang tidak lepas dari sekumpulan mimik wajah heran dan bingung dari orang-orang yang baru mengenalku. Bahkan ada diantara mereka yang berterus terang mengucapkan kata-kata yang bisa saja membuatku sedih. Namun setelah mengejek karena melihat kondisi fisikku yang tidaklah senormal mereka, biasanya mereka memberikan senyuman yang ramah padaku. Aku pun merasa senang, dan selalu berharap serta menganggap bahwa ejekan itu sebenarnya bukanlah dari hati mereka. Melainkan hanya terucap di mulut saja.

Anehnya, aku masih merindukan masa-masa itu setelah menginjak usia remaja. Masa-masa sekolah yang kujalani di sekolah dasar formal kurasakan sangat bahagia. Memiliki banyak teman dan sahabat yang menyayangi dan menerimaku apa adanya, adalah hal terindah yang pernah kurasakan di sekolah umum yang masih termasuk salah satu sekolah favorit di kota Makassar itu.
Kini, aku hidup dengan apa adanya. Sebuah keadaan akhirnya mengharuskanku untuk melanjutkan pendidikanku hanya di rumah saja. Usiaku sudah cukup dewasa untuk menyadari arti sebuah kehidupan yang sebenarnya. Karena aku tahu, tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Semuanya sama, dan juga pasti memiliki suatu kekurangan, dan juga kelebihan mereka masing-masing. Entah itu banyak maupun sedikit.

13 tahun (2008)


Karena aku percaya, Allah itu Maha Adil. Walaupun kondisi fisikku berbeda dengan mereka, tapi aku tetap merasa bersyukur hidup di dunia ini. Dikelilingi banyak orang yang selalu menyayangiku, baik itu teman, sahabat, saudara, maupun keluarga dekat. Kalian pastinya juga harus bersyukur. Mungkin kalian memang memiliki fisik yang lebih normal dari aku. Kalian bisa bergerak dengan bebas tanpa harus merasakan sakit, dan tanpa perlu memusingkan masalah ejekan dari orang lain. 

Aku juga nggak, sih. Tapi, kalian juga harus bersyukur dengan apapun keadaan kalian. Jangan pernah mengeluh dengan keadaan, karena semua orang juga pasti pernah mempunyai masalah. Dan semua orang juga pasti memiliki kekurangan dan kelebihan mereka masing-masing.

Semua manusia yang hidup di dunia ini tidak ada yang sempurna. Yang sempurna hanyalah Allah swt. Sang Pencipta langit, Bumi, dan seluruh isinya. Termasuk kita, makhluknya yang diciptakan paling sempurna dibandingkan dengan makhluk yang lain. Memiliki akal, dan terlahir dengan hati yang suci. Jadi bersyukurlah! Dan ingat, apapun keadaanmu, jangan pernah menyerah, dan jangan putus asa!

Tetap semangat! Tetap Berkarya! Karena Hidup dimulai saat kamu Tidak Menyerah! :)

Next! Baca kisahku yang lainnya DI SINI yaa ^^,

Saturday, March 26, 2022

Aku dan istilah yang disebut "Flare Up"

Jika dalam bahasa inggris, kata ini memiliki arti "bergejolak"

Namun dalam FOP, aku baru tahu kalau ternyata ada istilah dengan kondisi seperti ini, yang merupakan sejenis peradangan pada bagian tubuh tertentu.
Berawal dari pembengkakan yang disertai dengan nyeri luar biasa, ruam kulit/memerah, dan rasa panas/demam pada bagian yang bengkak tersebut. Dan gejolak ini, mungkin bisa diartikan dengan muncul secara mendadak, lalu kemudian tumbuh pesat tak terkendali dan merubah suatu kondisi yang semula normal terlihat tak biasa.

Kalau menurutku, Flare Up ini semacam awal dari kondisi yang akan membuat pergerakan seseorang dengan FOP menjadi semakin terbatas. Di mana setelah melalui beberapa waktu, sempat merintih karena nyeri dan panasnya, tersiksa dan menangis oleh sakitnya, semua itu pasti akan berakhir dengan kekakuan pada bagian tubuh yang diserang itu. 

Penyebabnya tidak lain adalah karena jaringan lunak dari gen tertentu yang secara bertahap membuatnya berubah menjadi keras. Bahkan tulang yang tumbuh secara abnormal di dalam sendi pun dapat dengan mudahnya mengunci setiap pergerakan menjadi lebih terbatas dari sebelumnya.

Aku tidak ingat pastinya sejak kapan, yang jelas aku baru menyadari kondisi tersebut setelah berkali-kali mengalami, dan berjuang melewatinya. Itu pun juga setelah aku mengetahui istilah FOP, yang ternyata sudah tak lazim dengan gejala yang disebut Flare Up seperti ini. 

Flashback ke awal tahun 2007, atau lebih tepatnya sejak saat umurku 12 tahun, kelas 6 SD. Secara tiba-tiba persendian di pangkal paha kiriku mulai terasa kaku, disusul bahu dan siku tangan kanan, lalu kemudian pangkal paha kananku.
Saat itu meski dengan kondisi tersebut yang membuatku cukup sulit untuk berjalan atau sekedar menulis di meja, aku berusaha untuk terus belajar dan tetap melanjutkan sekolah hingga lulus walau akhirnya terpaksa harus izin sakit sampai berhari-hari.

Lalu beberapa minggu kemudian sejak kaki dan tangan kananku mulai kaku, rahangku pun mulai diserang kekakuan (Flare Up) itu juga, yang mengakibatkan pipiku bengkak sebelah dan terlihat seperti sedang sakit gigi.
Ya, saat itu yang terpikir memang hanya seperti itu, sakit gigi yang kuharap sakitnya akan segera hilang dalam waktu dekat, namun nyatanya sampai berhari-hari.

Berbagai macam pengobatan sudah dicoba tapi tetap saja hasilnya nihil, membuatku harus menangis hampir setiap malam karena sakitnya.
Dan yang terjadi setelah akhirnya bengkak dan rasa sakitnya mulai berangsur menghilang, justru malah kondisi itu membuat mulutku semakin tidak bisa terbuka lagi. Mulai dari hanya sikat gigi kecil yang bisa masuk, hingga sendok kecil pun tak lagi bisa masuk ke dalam mulutku. (Cerita selengkapnya tentang rahangku baca DI SINI)

Selanjutnya, sekitar umur 14 tahun persendian area bahu dan siku tangan kiriku pun juga mulai diserang kekakuan. Diawali dengan bengkak dan rasa panas mulai dari bagian siku hingga ujung jari-jari tangan kiriku.


Kondisi tangan kiri saat mulai bengkak dan mengalami Flare Up (2011)


Kenangan saat kedua tanganku masih bisa mengetik di laptop. Saat itu kedua jari tengah dan jari manis kiriku masih bisa diluruskan, namun pergelangan tangan kanan sudah mulai diserang kekakuan


Singkat cerita, pada akhirnya setelah beberapa waktu mengalami saat-saat yang begitu berat itu, juga dengan berbagai pengobatan alternatif dan herbal yang telah diusahakan untukku, tetap saja pada akhirnya tangan kiriku juga berubah kaku mulai dari atas bahu, siku, pergelangan, sampai kedua jari manis dan tengah sudah tidak bisa kubuka lagi.
 
Berjalan dengan posisi rukuk karena persendian di pangkal paha sudah kaku,
Terpaksa makan dengan tangan kiri karena tangan kanan sudah tidak bisa ditekuk lagi,
Menulis sambil berdiri karena mengikuti posisi tangan yang kaku, 
Berbaring dengan posisi miring menyesuaikan posisi tubuh yang nyaman, dan
Berusaha untuk tetap menikmati makanan dengan berusaha memasukkannya lewat sela-sela gigi, karena kondisi rahang yang sulit bahkan sudah tak bisa kubuka lagi.

Bertahun-tahun kulalui dengan kondisi yang pada akhirnya akan tetap seperti itu, atau bahkan bisa menjadi semakin buruk, terlebih ketika kekakuan itu mulai menyerang bagian persendian lainnya.

Disisi lain, kondisi persendian yang kaku itu secara otomatis juga mempengaruhi tulang belakangku. Yang awalnya lurus dan tegak, jadi membengkok ke arah kanan. Hal ini bisa terjadi karena efek dari caraku mengimbangi dan berusaha memposisikan tubuhku agar bisa lebih nyaman, meski sebenarnya justru membuat tulang punggungku semakin bengkok.

Awal tahun 2018 ketika usiaku telah menginjak 23 tahun, Flare Up itu pun kembali lagi kurasakan pada kaki kanan dan kiriku secara bergantian.
Diawali dengan bengkak dan rasa nyeri luar biasa pada kaki kanan yang tak mampu kujelaskan lagi bagaimana sakitnya, hingga berakhir dengan kakunya persendian di lututku yang semakin tak bisa ditekuk lagi seperti sebelumnya.

Tak berhenti disitu, Flare Up ini kemudian berlanjut pada kaki kiriku. Membuatku bahkan tak bisa sekedar duduk bahkan tidur dengan nyaman saking nyerinya, yang otomatis juga menghambat segala aktivitas kecil yang biasanya masih bisa kulakukan dengan sedikit tenaga dan pergerakan yang tersisa seperti menulis, atau sekedar melangkah dan berjalan sendiri untuk berpindah tempat dengan posisi jalan yang rukuk.

Kondisi itu jelas membuatku semakin sulit bergerak. Hingga beberapa hari kemudian setelah melalui semua hari-hari yang berat itu, bengkaknya pun menghilang, digantikan dengan kekakuan di pergelangan dan jari-jari yang membuat kaki kiriku bahkan tak bisa kembali rata untuk dipijakkan. 
Kondisi ini pun membuatku tak mampu lagi untuk menyeimbangkan tubuh dan berjalan sendiri, sekalipun dengan posisi rukuk yang sudah terbiasa kulakukan sebelumnya.


Flare Up pada kaki kanan, lalu kiri (2018)

Jika dipikir kembali saat-saat itu... Rasanya menakutkan! Bahkan seperti mimpi buruk yang rasanya ingin segera kuhentikan sejak awal mula merasakan semuanya. 
Namun setelah kupikir lagi, semua pengalaman menyakitkan itu dapat berubah menjadi lebih indah, setidaknya karena aku masih bersyukur tetap bisa bertahan melalui semua masa-masa yang berat dan sulit itu. 

Harus selalu bersyukur pada setiap keadaan, menerima segala perubahan yang ada, berterima kasih pada orang-orang tercinta yang terus hadir menguatkan, dan memberi semangat agar bisa melewati setiap fase perubahan yang disebut Flare Up itu.

Karena dengan begitu, segala hal yang telah terjadi dalam setiap fase kehidupanku akan berlalu sebagai sebuah pelajaran penting, agar aku bisa tetap kuat bertahan dalam situasi yang tersulit sekalipun.
 

Suara Hatiku Copyright © 2009 Cookiez is Designed by Bread Machine Reviews | watch free movies online by Blogger Templates