Event menulis yang aku ikuti selanjutnya, bertemakan FF alias Flash Fiction alias cerita mini atau Cermin. Aku memilih persahabatan sebagai temanya. (:
Sahabat Rana
“Geby, Friska, dan Naya kenapa sih? Kok
daritadi mukanya cemberut terus? Apa mungkin, mereka ada masalah?” Rana bingung
melihat ketiga teman baiknya itu tidak ramah seperti biasanya. Dan dengan
perasaan setengah sedih, ia pun mencoba bertanya kepada Tifah dan Ramon yang
duduk tepat di bangku depannya.
“Tifah, Ramon, kalian kan datang di
sekolah lebih dulu dari aku. Pasti kalian tahu kenapa Naya cemberut. Friska dan
Geby juga tidak seperti biasanya. Apa mereka bertiga lagi bertengkar?” tanya
Rana penasaran. Tifah dan Ramon pun menjelaskan kejadian yang sebenarnya.
“Iya, Ran. Naya memang lagi marahan sama
Friska dan Geby.” ujar Tifah. Rana pun mengerutkan keningnya. “Lho? Kenapa,
Fah?”
“Karena komik terbarunya dirampas dan
dibuat sobek oleh Friska dan Geby.” timpal Ramon.
“Tadi pagi, Aku, Tifah, Geby dan Friska
sudah datang lebh dulu dari Naya. Ketika Naya baru datang, ia langsung
memperlihatkan komik terbarunya yang baru ia beli kemarin dan katanya, komik
itu ia beli dari hasil uang tabungannya sendiri selama 2 minggu. Nah, melihat
komik itu, Geby dan Friska langsung merebut komik Naya dari tangannya dan ingin
meminjam komik tersebut.” jelas Tifah.
“Tapi, Naya belum mau meminjamkannya,
karena ia sendiri pun belum selesai membaca komiknya itu.” sambung Ramon.
“Terus, kenapa mereka bisa sampai
marahan?” tanya Rana.
“Tapi, Geby dan Friska menghiraukan
kata-kata Naya. Mereka hanya sibuk tarik-menarik memperebutkan komik milik Naya
sampai akhirnya sampul bagian depan komik itupun sobek. Melihat komiknya sobek,
Naya pun menangis dan marah kepada Friska dan Geby.”
“Nah, melihat Naya menangis, Geby dan
Friska menyesal dan meminta maaf kepada Naya, tetapi Naya tidak mau memaafkan
mereka.” lanjut Tifah.
“Jadi begitulah kejadiannya tadi sebelum
kamu datang, dan sampai sekarang pun, Naya masih terlihat sedih dan cemberut.”
tutup Ramon menyelesaikan, sambil menengok ke arah Naya yang duduk di belakangnya.
Perasaan Rana pun mulai terasa lega setelah mendengar penjelasan itu.
Setelah tahu permasalahannya, Rana mencoba
sesekali menghibur Naya yang sedang bersedih, ia juga mencoba membujuk Naya
agar mau memaafkan Friska dan Geby.
Dan setelah beberapa lama dihibur dan
dibujuk oleh Rana, Naya pun mulai terbuka dan mulai bisa memaafkan perbuatan
Friska dan Geby tadi pagi. Begitu juga dengan Friska dan Geby, setelah dibujuk
oleh Rana mereka pun mulai tersadar kembali atas perbuatannya yang lancang pagi
tadi dan mereka pun ingin meminta maaf sekali lagi kepada Naya dan berharap
kali ini Naya mau memaafkan mereka.
Wali kelas mereka pun datang dan
bersiap-siap untuk mengajar. Friska dan Geby bertekad disaat nanti waktu
istirahat tiba, mereka akan langsung meminta maaf kepada Naya.
Setelah kurang lebih 2 jam belajar didalam
kelas, bel tanda istirahat pun akhirnya tiba. Semua anak-anak kelas lima keluar
dari kelas kecuali Rana, Naya, Friska dan Geby. Dengan perasaan sedikit takut,
Friska dan Geby mencoba mendekati Naya yang masih terlihat cemberut dan sedih.
“Naya, maafkan kami ya! Karena tadi pagi
kami merusak komikmu.” ucap Friska dengan terbata-bata. “Iya Nay. Maafkan kami.
Kami berjanji, nanti kami akan menggantikan komikmu yang rusak itu.” sambung Geby.
Naya pun terdiam sejenak, sembari berpikir. Lalu kemudian menoleh ke arah
Friska dan Geby.
“Okey, aku maafkan kalian. Tapi, lain kali
kalian jangan merebut dan merampas barang-barang milik orang lain sebelum
diijinkan pemiliknya ya. Itu namanya kalian lancang. Dan satu hal lagi, kalian
tidak perlu kok, mengganti komikku. Kan yang sobek cuma sampul depannya aja.”
kata Naya.
“Terima kasih Naya, karena kamu sudah
memaafkan aku dan Friska. Sebagai permintaan maaf dari kami, ijinkan kami untuk
memperbaiki komikmu yang rusak itu, ya!” ucap Geby dengan perasaan lega.
“Iya, tapi kalian juga harus berterima
kasih kepada Rana. Kalau bukan karena bujukan darinya, belum tentu sekarang aku
mau memaafkan kalian.” kata Naya sambil melihat Rana yang sibuk menghapus
tulisan dipapan tulis. Friska pun segera melangkah menghampiri Rana.
“Thanks
ya, Ran. Kalau bukan bujukan dari kamu, mungkin sampai sekarang aku dan Geby
masih bertengkar dengan Naya.”
“Oh, iya. Sama-sama Friska. Lagian, itu
kan sudah tugasku sebagai sahabat kalian.” ucap Rana dengan hati lega. “Nah!
Gitu dong, senyum. Jangan pada cemberut terus kayak tadi. Kita kan sahabat.
Jangan saling bermusuhan dong! Iya nggak?” sahut Rana, sambil merangkul Friska.
Geby mengangguk setuju. “Bener tuh, Ran!
Mulai sekarang, kita nggak boleh musuhan lagi. Kalau ada kesalah-pahaman lagi
seperti kejadian tadi, kita harus selesaikan pada saat itu juga. Bagaimana?
Kalian setuju?”
“Pasti dong, Geby! Nggak baik juga kan,
kalau persahabatan kita tiba-tiba putus cuma gara-gara hal yang sepele?”
tanggap Rana. Naya pun menundukkan kepala.
“Ups! Maaf Naya, aku nggak bermaksud …”
“Iya, Ran. Nggak apa-apa, kok! Kamu benar.
Pokoknya aku janji deh. Mulai sekarang, kita harus saling menyayangi dan
melengkapi. Okey?!” sahut Naya tersenyum. Rana, Friska dan Geby pun mengangguk
tersenyum. “Eh, daripada di kelas terus, kita keluar yuk, sebelum bel masuk
berbunyi!” ajak Rana kemudian berlari kecil menuju ke depan pintu kelas.
“Oh, iya ya! Kita ke kantin yuk! Nanti
semuanya aku yang traktir deh!” sahut Naya, lalu kemudian menarik tangan Friska
dan Geby yang sedang duduk, lalu menyusul Rana ke depan pintu kelas. Dan mereka
pun melangkah bersama-sama menuju kantin sekolah sambil bergandengan tangan.
“Kejadian hari ini membuatku menyadari
sebuah arti dari persahabatan. Walaupun hanya sesaat, amarah yang kurasakan
hari ini telah membuatku sadar akan pentingnya arti persahabatan yang kumiliki
saat ini. Terima kasih, Tuhan! ” batin Naya, sambil tersenyum berjalan bersama
Rana, Friska dan Geby menyusuri koridor sekolah, sambil merangkul Rana dengan
perasaan lega, sekaligus riang.
“Nah! Gitu dong. Sahabat itu, harus saling
memaafkan. Lebih baik jika kita tersenyum menyembunyikan masalah pribadi kita,
daripada harus cemberut, dan membuat mereka bingung dengan sesuatu yang sama
sekali mereka tidak tahu. Apalagi, kalau harus melampiaskan amarah kita kepada
mereka, sahabat kita sendiri. Hal itu malah akan membuat kita kehilangan mereka…”
(Aulia’s quote)
***
0 comments:
Post a Comment