Event menulis berikutnya yang aku ikuti bertemakan 'mudik'. Selain cerpenku, ada juga cerpen Mama yang ikut dimuat di dalam buku ini. Kami dan para penulis lainnya sama-sama bercerita tentang suka duka yang pernah dialami saat mudik lebaran. ^^
Perjalanan
Mudik Paling Berkesan
Berkesan,
tak selamanya berarti kenangan yang indah. Berkesan yang kumaksud disini
adalah, suatu hal yang bagiku paling mengerikan yang pernah terjadi dalam
hidupku. Berikut kisahku.
Usiaku
saat itu baru menginjak 8 tahun. Beberapa hari setelah merayakan Hari Raya Idul
Fitri bersama dengan keluargaku di kota Makassar, aku dan keluarga pun mudik ke
kampung halaman kami yang masih berada di daerah Sulawesi Selatan. Aku
berangkat bersama Mama, Tante, dan juga Omku yang mengemudikan mobilnya. Waktu
yang kami tempuh dalam perjalanan itu sekitar tiga, sampai empat jam. Aku
merasa sangat senang karena sebentar lagi akan berziarah ke makamnya Papa, dan
selain itu aku juga bisa bertemu dengan nenek, dan saudara-saudaraku di kampung
halaman.
Setibanya
kami di kampung halaman, kami bertemu dengan orang-orang yang sangat kami
rindukan. Maklumlah, kami baru sempat ke sana hanya pada waktu lebaran, atau
jika ada acara penting saja. Aku pun bisa dengan bebas bermain bersama beberapa
Om kecilku di sana. Memang pada saat itu cicit dari nenek uyutku baru 3 orang.
Yang pertama aku, dan yang dua lagi cowok. Di tambah lagi dengan beberapa Om
kecilku. Walaupun kebanyakan diantara mereka, atau bahkan semuanya adalah
laki-laki, aku tetap senang bermain dengan mereka. Hal itupun adalah salah satu
yang membuatku tumbuh menjadi seorang anak yang agak tomboy.
Keesokan
harinya, ada seorang lagi nenekku, yang juga merupakan adik nenekku dari
keluarga Mama, mengajak aku, Mama, Om dan Tanteku untuk makan durian yang
kebetulan pada saat itu tengah berbuah banyak di kebun miliknya. Rumah nenekku
itu berada cukup jauh, yakni di sebuah daerah yang berada cukup jauh dari
wilayah Makassar. Perjalanan yang kami tempuh sekitar dua jam untuk sampai
disana. Bila dari Makassar, waktunya bisa sampai setengah hari perjalanan.
Sesampainya
di rumah nenek, aku kembali bertemu dengan Om kecilku yang semuanya laki-laki.
Sebut saja mereka Iza dan Nunu. Usia mereka berbeda tiga, atau empat tahun
dariku. Dan selama berada disana, aku cukup akrab dengan mereka berdua.
Sore
harinya, kami diajak berjalan-jalan di kebun milik nenek dan kakek. Kebun itu
cukup luas, dan terdapat banyak sekali pohon durian yang tumbuh subur disana.
Selain durian, ada juga pohon langsat, dan juga rambutan yang kebetulan pada
saat itu tengah berbuah. Mungkin juga saat itu merupakan musim panen, namun
kami tetap bisa menyantap buah-buahan tersebut dengan nikmat dan sampai
kenyang. Perjalanan yang kami tempuh untuk sampai ditengah kebun itu cukup menghadapi
rintangan, dan menguras tenaga. Ya, kebun yang mereka maksud ternyata lebih
mirip seperti daerah hutan yang aku ketahui. Banyak hewan-hewan liar yang masih
berkeliaran disekitar kebun itu. Dan bagiku, itu adalah kali pertama aku
memasuki kawasan yang seperti itu.
Yang
masih kuingat jelas pada saat itu, aku, Mama, Om, Tante, beserta Nenek, Kakek
dan kedua Om kecilku (Iza dan Nunu) dengan nikmat menyantap buah durian. Waktu
itu, aku juga sempat berkata. “Nenek, durian-durian ini aku bawa pulang ke Makassar
ya!” ucapku dengan nada polos, dengan buah durian yang masih penuh di mulutku.
Sontak, orang-orang yang berada disekitarku langsung tertawa mendengar
kepolosanku itu. Nenek pun menjawab. “Iya dong! Nanti Indah boleh bawa durian
yang banyak, buat oleh-oleh untuk nenek dan kakek di sana, Oke?!”
Aku
tersenyum ceria, sementara yang lainnya masih tertawa mengingat ucapanku yang
tergolong “tiba-tiba” sebelumnya. Memang, ucapanku yang tadi kuucapkan dengan
nada yang lantang, sampai-sampai gema dari suaraku terdengar disekitar kebun
yang lumayan sepi itu.
Malam
harinya, sekitar pukul 10 malam, tiba saatnya pulang kembali ke Makassar.
Perjalanan yang kami tempuh akan terasa sangat lama, dan bahkan mungkin sampai
subuh. Aku duduk di jok belakang bersama Mama, sementara Tanteku di depan
bersama Omku yang mengemudikan mobil. Dan hal yang kumaksud “mudik paling berkesan”
tadi pun di mulai di sini.
Aku
sedang tertidur nyenyak di jok belakang mobil. Tak berapa lama kemudian,
didalam tidurku aku mendengar suara kepanikan yang ternyata berasal dari suara
Om, Mama dan Tanteku di dunia nyata. Dan disaat aku mulai membuka mata,
tiba-tiba terdengar bunyi yang sangat keras “Brrkkk”. Aku langsung terjatuh
tepat di belakang kursi kemudi mobil. Saat itu aku memang tidak tahu apa yang
terjadi. Akupun hanya bisa berteriak dan menangis ketakutan sambil memanggil
Mama. Dan Mama pun berusaha untuk mengangkatku kembali untuk duduk di kursi
mobil.
Setelah
kepanikan itu mereda, aku baru menyadari bahwa ternyata mobil kami masuk ke
dalam area persawahan yang cukup dalam. Mobil sedan Omku yang berwarna putih itu
pun tenggelam hampir setengahnya. Tak lama setelah itu, masyarakat sekitar pun segera
membuka pintu mobil, dan seorang pemuda menggendongku keluar dari area sawah
itu. Waktu keluar dari mobil, kakiku sempat menyentuh air di sawah itu. Dingin
sekali! Kecelakaan itu terjadi sekitar pukul 4 pagi. Udara dingin masih sangat
menusuk tulang. Aku sampai menggigil dibuatnya. Di seberang jalan, badanku di
lilitkan handuk tebal oleh Mama. Dan sambil menunggu mobil Omku itu ditarik
keluar dari area persawahan, aku, bersama Mama dan Tanteku menunggu di depan
sebuah rumah warga, tepat diseberang jalannya. Aku masih ingat jelas saat itu.
Walaupun mungkin, sebenarnya aku belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi
pada waktu subuh itu.
Setelah
mobil berhasil ditarik kembali ke jalan raya, ternyata mesinnya masih bisa di
hidupkan. Kerusakan terjadi hanya pada lampu depannya yang retak, mungkin
karena sebelumnya terbentur pembatas jalan. Dan setelah berterima kasih kepada
masyarakat sekitar karena telah membantu menarik mobil ke jalan raya, Aku,
Mama, Om dan Tanteku masuk ke mobil, dan kami pun kembali melanjutkan
perjalanan yang masih akan ditempuh sekitar dua atau tiga jam lagi. Karena
masih merasa takut, aku pun tidak berani untuk mencoba tidur lagi.
Namun
di tengah perjalanan, secara tiba-tiba mobil Omku itu mogok ditengah jalan.
Untung saja, saat itu kami sudah memasuki wilayah Makassar. Setelah diselidiki,
ternyata mesinnya mengalami pemanasan. Sampai-sampai keluar asap dari mesin
depan mobil. Karena takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, kami semua pun
segera keluar dari mobil. Omku pun memutuskan untuk menelpon petugas mobil yang
berada disekitar untuk menarik mobilnya dengan sebuah mobil derek. Setidaknya,
untuk sampai ditengah kota Makassar.
Dan
setelah mobil derek itu datang, Aku, Mama, Tante dan Omku pun kembali masuk ke
dalam mobil. Dan sekitar satu jam kemudian, akhirnya mobil yang kami tumpangi
tersebut pun sampai disebuah showroom
mobil, yang juga merupakan sebuah bengkel besar. Seingatku, showroom mobil itu berada tak jauh dari
rumah nenek. Jadi setelah mobil Omku masuk di showroom itu, Aku, bersama Mama
dan Tanteku pun pulang ke rumah nenek dengan mangendarai sebuah taxi.
Sekitar
pukul 6 subuh, akhirnya kamipun sampai di rumah nenek. Kakek dan Nenek yang
sebelumnya sempat khawatir pun merasa lega karena keadaan Aku, Mama, Om dan
Tanteku yang baik-baik saja. Hanya ada sedikit luka benturan di lutut Tanteku
yang terbentur laci depan mobil, serta ada juga sedikit trauma dipikiranku.
Tapi hal itu tentu tidak membuatku takut akan sebuah perjalanan yang jauh.
Perjalanan
balik yang benar-benar penuh rintangan. Sejak pukul 10 malam dari kampung
halaman, hingga kami tiba di Makassar, Sulawesi Selatan pada pukul 6 subuh.
Sungguh,
perjalanan mudik dan balik yang paling berkesan bagiku. Bahkan hingga saat ini
pun aku masih mengingatnya…
***
0 comments:
Post a Comment