Thursday, February 2, 2023

The Real My Life Story

 Aku, dan berbagai diagnosa.


Membaca judul itu mungkin terasa agak aneh ya. Ketika seseorang yang sejak kecil telah memiliki kelainan, namun seiring waktu bertumbuh dengan segala keterbatasan yang membuatnya semakin tidak leluasa untuk bergerak. Merasa tubuhnya secara perlahan berubah bagai patung yang membatasi nyaris seluruh pergerakannya, bahkan hingga terasa sulit untuk sekedar menemukan posisi yang nyaman untuk beraktivitas maupun bersantai.

Tanpa bermaksud apa-apa dan hanya ingin sekedar bercerita, hal itulah yang selama ini telah terjadi padaku. Hingga usiaku menginjak 12 tahun setidaknya aku masih merasakan masa-masa indah dapat tumbuh dan berkembang dengan ceria seperti anak-anak lainnya tanpa kesulitan, meskipun sudah jelas ada beberapa kondisi yang membuatku terlihat sedikit berbeda dari mereka yang memiliki kondisi fisik normal.

Sejak usia 12 tahun itu, karena sebuah kejanggalan yang muncul secara tiba-tiba, aku mendapat berbagai macam diagnosa oleh Dokter. Segala ekspresi mulai dari yang terlihat bingung dan heran ketika melihat kondisiku, hingga yang terkesan angkat tangan, menyerah dan hanya menyarankan sebaiknya aku dirawat saja dengan baik untuk menghindari berbagai pengobatan yang nantinya hanya akan membuat kondisiku semakin parah dan lebih banyak menderita karena efeknya.

Hingga 15 tahun berlalu, selama waktu itu aku pun mulai mengenal berbagai jenis penyakit yang kondisi penderitanya terlihat cukup mirip denganku. Mulai dari Cerebral Palsy (CP) yang ternyata juga memiliki beberapa tipe atau jenis tertentu menurut kondisi pasiennya, kanker Lymphoma yang dulu juga sempat disebut karena memiliki kondisi yang mirip denganku, pengapuran otot, bahkan kanker otot, yang pada akhirnya membuatku berhenti untuk menjalani berbagai pengobatan medis.

Adapun istilah penyakit lainnya yang menurutku cukup mirip dengan kondisiku, yang juga berdasarkan diagnosa dari beberapa Dokter ahli Ortopedi saat aku kembali menjalani pengobatan medis pada saat usiaku 19 tahun. Dimulai dari Ankylosing Spondylitis (AS) atau Juvenile Spondyloarthropathy (JS) yang termasuk dalam golongan autoimun, hingga sebuah penyakit langka yang ternyata masih sangat jarang ditemukan, bernama Fibrodysplasia Ossificans Progressiva (FOP).

***


Fibrodysplasia Ossificans Progressiva.

Pertama kali aku mendengar istilah penyakit itu pada sekitar tahun 2018, saat menonton sebuah acara di televisi. Kulihat seorang gadis dengan kondisi yang nyaris seluruh bagian otot dan persendiannya kaku atau sulit digerakkan, termasuk rahangnya juga.

Setelah itu aku pun mulai tertarik untuk mencari informasi mengenai penyakit yang biasa disingkat FOP itu di internet, hingga akhirnya menemukan beberapa video dari beberapa orang yang serupa di youtube.


Menurut beberapa artikel yang kubaca di internet, FOP ternyata merupakan istilah dari suatu penyakit kronis yang menyerang otot, tendon, dan ligamen. Penyakit yang tergolong sangat langka, bahkan menjadi satu-satunya jenis penyakit yang membuat suatu organ penderitanya dapat berubah menjadi bentuk yang lain. Saking langkanya kasus tentang penyakit ini, perbandingannya bisa mencapai 0,5 kasus per juta orang, atau 1 banding 2 juta jiwa di seluruh dunia.

Cedera yang dialami pengidap FOP ini dapat mengakibatkan tulang tumbuh di luar kerangka yang semestinya, dan bertambah parah secara bertahap jika mulai menyerang ke organ-organ lainnya. 

Diawali dengan pembengkakan dan rasa panas serta nyeri luar biasa pada bagian tubuh tertentu yang biasa disebut dengan istilah "Flare Up". Lalu kemudian disaat semua rasa sakitnya mulai mereda, bagian persendian yang diserang akan berubah menjadi kaku, seolah terkunci, dan tak mampu leluasa digerakkan lagi (Baca ceritaku tentang Flare Up DI SINI).

Aku saat usia sekitar 0-4 tahun


Gejala penyakit FOP umumnya sudah terlihat sejak bayi baru dilahirkan, yakni dengan ibu jari kaki yang cacat atau tumbuh ke arah yang berlawanan dengan jari-jari lainnya. Kondisi ibu jari kakiku sendiri pun mengalami hal yang serupa sejak aku lahir. Namun para Dokter, Orangtuaku maupun keluargaku lainnya tak pernah ada yang menganggap hal itu sebagai kondisi yang serius dan tak perlu dikhawatirkan. Kelainan yang sama pun terjadi pada bagian leherku, yang terlihat sedikit miring ke kiri.

Secara umum meski memang ada beberapa kendala fisik, dalam masa pertumbuhan itu aku tetap dapat tumbuh sehat dan ceria seperti anak-anak lainnya. Kendala fisik yang dimaksud itu mulai dari tidak adanya keseimbangan saat akan terjatuh, berjalan dengan sebelah kaki yang terlihat lebih pendek dan seperti diseret, kesulitan saat duduk melutut dengan melipat kedua kaki, tak mampu menoleh terlalu banyak ke kanan atau ke kiri, tak bisa melompat tinggi dan berlari kencang, atau sekedar mencoba untuk mengikat rambut sendiri.

Semua hal itu terjadi karena adanya beberapa persendian seperti dibagian leher, siku dan lutut yang terasa sedikit kaku, serta bagian ototnya yang tidak mengalami kelenturan. Namun, dimasa kecil yang indah itu aku merasa tidak ada masalah yang berarti meski harus menjalani hidup dengan kondisi yang terbatas, dan tidak sebebas anak-anak lainnya.


Seiring waktu berlalu, entah mengapa rasanya pergerakanku semakin terbatas walau pada saat itu belum menjadi sesuatu yang mengkhawatirkan. Kehidupanku tetap nyaris normal seperti anak-anak yang tumbuh dengan fisik yang sehat lainnya. Bermain, beraktivitas, dan belajar di sekolah umum tanpa harus merasa malu ketika ada yang mengejek, ataupun memandangku dengan tatapan yang aneh.

Hingga pada saat usiaku menginjak 12 tahun atau kelas 6 SD, suatu keanehan mulai muncul tepatnya pada pangkal paha kiriku, yang membuatku cukup kesulitan untuk berdiri tegak ataupun berjalan dengan posisi tegap.

Beberapa bulan kemudian, kejanggalan itu kembali terlihat pada lengan kananku, yang membuatku cukup sulit untuk menulis di atas meja, sehingga harus menggunakan papan alas ujian agar bisa menyesuaikan posisi tanganku yang mulai kaku dan sulit digerakkan.

Bersamaan dengan itu, secara tiba-tiba aku pun merasakan sakit gigi yang cukup parah, hingga membuat pipiku bengkak sebelah. Saking sakitnya, disetiap malam aku sering dibuat menangis karena tak mampu menahannya. Berbagai jenis obat sudah dicoba, namun rasa sakitnya tak kunjung mereda.

Sekitar satu minggu setelah sakit gigi itu mulai menghilang, rahangku mulai terasa kaku. Rasanya seperti ada tarikan ketika aku mencoba menutup mulut sambil mendongakkan kepala ke arah atas. Saat menyikat gigi pun aku hanya bisa menggunakan sikat gigi kecil. Termasuk juga saat makan, aku mulai menggunakan sendok kecil (Baca kisahku DI SINI).


Pada semester akhir kelas 6 SD, jujur saat itu merupakan awal dari masa-masa tersulit bagiku untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Selain harus menjalani berbagai macam pengobatan baik secara medis maupun nonmedis, aku juga tetap harus giat belajar untuk mengikuti ujian tahap akhir sekolah (Ujian Nasional) yang saat itu hanya tersisa beberapa bulan lagi. 

Meski tidak setiap hari bisa datang dan mengikuti pelajaran di sekolah, aku tetap berusaha agar tidak ketinggalan pelajaran dengan mempelajari beberapa materi yang diberikan guru atau salinan catatan dari buku milik temanku.


Sejak keanehan atau kejanggalan itu mulai muncul pada beberapa bagian persendianku, awalnya aku dibawa periksa ke Dokter spesialis ahli tulang namun belum mendapatkan diagnosa yang pasti. 

Lalu kemudian aku dirujuk lagi ke beberapa Dokter yang berbeda, hingga akhirnya oleh seorang Dokter spesialis syaraf aku divonis mengidap suatu penyakit sejenis kanker otot, dengan suatu keadaan medis yang nantinya secara bertahap akan membuat seluruh otot dan persendianku berubah menjadi kaku dan keras bagai tulang.

Bahkan saat itu sang Dokter sampai mencari istilah medis itu di kamus kedokteran miliknya, dan menjelaskan bahwa jenis penyakit yang kuderita ini tergolong sangat langka dan belum ada obatnya. 

Lalu kemudian beliau memintaku untuk menggerakkan beberapa bagian persendianku yang saat itu masih bisa kugerakkan, mulai dari ujung jari kaki, pergelangan kaki, lutut, pangkal paha, lalu dari ujung jari tangan, pergelangan tangan, siku, bahu, sampai leher dan terakhir di rahangku.

Saat itu bagian tubuhku yang mulai terasa kaku adalah leher, rahang, kedua lutut, pangkal paha kiri, serta pergelangan dan siku tangan kanan. Sang Dokter pun menyarankan agar aku lebih sering bergerak dan melatih semua anggota persendianku untuk memperlambat proses kekakuan itu.

Namun karena tidak ingin terlalu percaya pada vonis tersebut, keluargaku pun sepakat untuk mencoba beralih ke pengobatan alternatif atau nonmedis saja. Mulai dari terapi urut, obat-obatan herbal, berbagai macam suplemen makanan, hingga jamu yang rasanya luar biasa pahit, semuanya dilakukan demi kondisiku agar setidaknya bisa membaik sebelum menghadapi ujian akhir SD dan juga tes masuk SMP nantinya.

Aku saat usia sekitar 10-12 tahun


Beberapa minggu sebelum Ujian Nasional (UN) tahun ajaran 2006/2007 saat itu, aku diusahakan untuk bisa hadir di sekolah karena harus mengikuti beberapa tahap ujian akhir sebelum UN. Berusaha untuk tetap terlihat baik-baik saja, terkadang aku mencoba berjalan sendiri dengan cara menunduk setengah berlari karena cukup kesulitan melakukannya dengan posisi tegap. Rasanya seperti ada tarikan dibagian pangkal paha kiriku, yang membuatku terpaksa harus sedikit menunduk dan berlari kecil agar setidaknya bisa menutupi kesulitan itu.

Selain pangkal paha, seperti yang sudah kukatakan diawal tadi, saat itu persendian dibagian bahu dan siku tangan kananku pun mulai diserang kekakuan. Membuatku harus menggunakan papan alas ujian di atas meja agar bisa tetap menulis dengan mengikuti posisi tanganku yang mulai sulit digerakkan. Terkadang juga, aku terpaksa berhenti sejenak karena rasa sakit dan pegal ditanganku, atau bahkan meminta bantuan pada temanku yang menulis soal dari papan tulis, agar aku cukup menulis jawabannya saja.

Terkadang, ada perasaan sedih karena tidak bisa menikmati saat-saat terakhir di sekolah bersama dengan sahabat juga teman-teman lainnya. Namun aku bersyukur karena mereka selalu hadir memberiku semangat serta menawarkan bantuan jika aku merasa kesulitan bahkan tak mampu melakukannya. Meski mereka tak tahu apapun tentang sesuatu yang terjadi padaku, tapi mereka mampu membuatku sejenak melupakan segala hal yang menyulitkan tentang penyakit ini.

Hingga akhirnya saat tiba waktunya Ujian Nasional, selama 2 minggu kami harus berjuang agar setidaknya bisa mendapatkan nilai terbaik, dan lulus dari Sekolah Dasar dengan hasil yang memuaskan.


Beberapa minggu setelah ujian itu, aku akhirnya berhasil lulus dari Sekolah Dasar. Saat itu sempat ada rencana juga untuk melanjutkan ke bangku berikutnya di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Namun beberapa minggu setelah mendaftar dan menjelang tes masuk, kondisi kakiku yang tadinya masih cukup mudah kugerakkan, malah jadi semakin kaku dan membuatku semakin sulit berjalan. Yang tadinya kedua kaki merapat, justru makin melebar dan tidak bisa dirapatkan. 

Hingga pada akhirnya, karena masih harus mengikuti berbagai tahap pengobatan, aku pun harus rela melepas impian itu dan memutuskan untuk belajar hanya di rumah saja lewat buku-buku pelajaran yang ada.

***


Sejak mulai sakit di awal tahun 2007 itu, aku sudah mulai menghabiskan waktuku lebih banyak di rumah, begitupun setelah lulus dari Sekolah Dasar. Berusaha melakukan kegiatan apapun yang setidaknya masih bisa kulakukan sendiri tanpa bantuan.

Mulai dari nonton, menulis cerpen atau novel, menggambar, melukis, bermain keyboard, mendengarkan lagu sambil menulis not angka lagu, bermain rubiks, atau kegemaran lainnya yang menjadi favorit saat mengisi hari-hariku di rumah untuk sekedar mengusir rasa bosan karena hanya bisa menikmatinya seorang diri, tanpa adanya saudara atau teman seperti halnya di sekolah.


Oh iya, aku merupakan anak tunggal yang lahir di kota Dili, Timor Timur (Leste), tepatnya pada tanggal 19 Februari 1995. Aku terlahir normal, namun dengan kondisi kedua ibu jari kaki yang sedikit berbeda atau lebih tepatnya membengkok ke arah dalam.

Diusiaku yang ke 4 bulan, mulai terlihat ada kelainan pada bagian perutku yang mengeras, tapi tidak terasa sakit. Saat itu kedua Orangtuaku membawaku berobat ke kota Makassar, yang juga merupakan kampung halaman keluarga kami. Di sana aku sempat dititipkan pada Nenek selama beberapa bulan karena Papa dan Mama harus kembali ke kota Dili untuk bekerja.

Selama berada di kampung, setelah beberapa kali menjalani terapi urut mulai terlihat ada sedikit perkembangan dan perutku tidak mengeras lagi. Namun karena masih merasa khawatir dengan kondisiku, diam-diam tanpa sepengetahuan kedua Orangtuaku, Nenek pun mencoba memeriksakan aku ke seorang Dokter spesialis anak.

Dan hasilnya, setelah diperiksa ternyata aku divonis mengidap penyakit sejenis tumor air dibagian perut dan harus segera dioperasi secepatnya. Tak sampai 3 hari batas waktu yang diberikan Dokter, setelah mendapat kabar ini Papa dan Mamaku pun langsung kembali ke Makassar hingga akhirnya operasi itu dilaksanakan.

Setelah proses operasi yang berjalan lancar itu, ternyata ada kesalahan diagnosa dari Dokter yang mengatakan bahwa tidak ada yang bisa diangkat, karena katanya yang mengeras itu adalah lapisan ketiga dari usus yang bila diangkat hanya tersisa kulit saja.

Meski hal ini sudah jelas membuktikan bahwa vonis tumor air yang dikatakan Dokter sebelumnya itu adalah sebuah kesalahan yang sangat fatal atau bisa juga disebut sebagai kasus dugaan Malapraktek, namun pada akhirnya keluargaku memutuskan untuk menerima kondisiku dan tidak ingin memperpanjang masalah ini. Walau sempat juga ada keluarga dari pihak Papa yang merasa keberatan, namun setelah diberi pengertian oleh Papa mereka pun tidak lagi melanjutkannya, mengingat kondisiku pasca operasi juga yang sudah semakin membaik. Dan beberapa minggu setelah operasi itu, aku pun dibawa Papa dan Mama kembali ke kota Dili.


Diusiaku yang menginjak 4 tahun, karena berbagai kerusuhan akibat dari adanya kecemburuan sosial yang terjadi pada masa pemerintahan orde baru di daerah provinsi Timor Timur saat itu, akhirnya aku bersama keluargaku kembali dan menetap di kota Makassar, tempat di mana sebagian besar dari keluargaku tinggal. Dan beberapa bulan kemudian, aku pun didaftarkan masuk sekolah Taman Kanak-kanak (TK) di kota tersebut.

Hari keempat di tahun 2001, mau tidak mau aku harus kehilangan adik laki-laki yang sudah sangat kunantikan kehadirannya, karena ternyata ia tidak selamat dalam kelahirannya. Dan selang 4 bulan kemudian masih di tahun yang sama, Papa yang sangat kucintai pun ikut pergi menyusulnya karena sebuah penyakit yang terlambat diketahui. Beliau hanya 2 hari dirawat di Rumah Sakit sebelum akhirnya pergi untuk selamanya. Aku yang saat itu masih berumur 6 tahun pun belum terlalu mengerti apa yang terjadi. Dan sejak saat itu juga, aku dan Mama pun akhirnya tinggal di rumah Orangtua Mama, Kakek dan Nenekku.

***


Beberapa tahun kemudian, sekitar tahun 2010 secara tiba-tiba tangan kiriku diserang pembengkakan (Flare Up) mulai dari atas bahu perlahan menjalar sampai ke ujung jari tangan kiriku, yang pada akhirnya membuat bahu, siku, pergelangan, serta kedua jari tangan kiriku berubah menjadi kaku dan sulit digerakkan. Kondisi ini pun membuat ruang gerakku semakin terbatas untuk sekedar mengetik di keyboard laptop, atau menggunakannya untuk makan karena sebelumnya tangan kananku juga sudah kaku dan tak bisa ditekuk lagi.

Seiring waktu, tak hanya beberapa bagian persendian. Kekakuan itu membuatku bahkan tak mampu menyeimbangkan tubuh dan terlalu sering dalam posisi duduk. Akibatnya, kondisi tulang belakangku yang semula tegak, secara perlahan membengkok ke arah kanan sehingga siku kiri akhirnya semakin menyentuh paha kananku. Hal ini terjadi selama bertahun-tahun dan menjadi semakin parah sehingga membuat pernafasanku pun mulai terganggu.


Tahun 2014 aku kembali menjalani pemeriksaan disalah satu Rumah Sakit di kota Makassar, tepatnya ke spesialis ahil bedah Ortopedi. Mulai dari rontgen hingga CT-scan, hasilnya Dokter itu mendiagnosa suatu penyakit bernama Ankylosing Spondylitis, sejenis penyakit sendi yang termasuk dalam golongan autoimun. 

Selain itu, dari hasil CT-scan juga terlihat adanya keretakan dibagian panggul kiriku yang membuatnya tampak berbeda. Namun akhirnya kami memutuskan untuk tidak melanjutkan pengobatan lagi, karena satu-satunya solusi yang disarankan Dokter saat itu yakni pemasangan sendi buatan diarea panggul biasanya dilakukan untuk pasien di atas usia 40 tahun, sedangkan waktu itu usiaku baru menginjak 19 tahun.


Flare Up pada kaki kanan, lalu kiri (2018)


Awal tahun 2018, Flare Up itu kembali menyerang kaki kananku. Dimulai dengan pembengkakan secara tiba-tiba dibagian paha kananku, lalu menurun ke lutut, betis hingga pergelangan dan jari kaki kananku. Disertai rasa nyeri luar biasa tak tertahankan, membuatku nyaris tak bisa tidur di malam hari karena saking sakitnya.

Beberapa hari setelah menjalani berbagai pemeriksaan dan pengobatan, bengkaknya pun mulai mereda. Namun seperti yang terjadi pada tangan dan rahangku, kondisinya tetap berakhir dengan kaku dibagian persendian lutut kananku yang semakin tak bisa ditekuk, membuatku jadi semakin sulit untuk berjalan.

Tak sampai disitu, kekakuan ini juga kembali menyerang kaki kiriku, tepatnya dibagian pergelangan dan jari-jari kaki. Diawali dengan bengkak dan rasa nyeri luar biasa, lalu kemudian setelah itu persendiannya mulai mengeras dan semakin sulit untuk digerakkan atau ditekuk lagi.

Kondisi ini pun membuat pergerakanku menjadi semakin terbatas. Bahkan hanya untuk bangkit berdiri dan berjalan saja aku harus memerlukan bantuan. Tidak seperti sebelumnya yang meski hanya dengan posisi setengah berdiri, aku masih bisa bangkit dan berjalan sendiri tanpa dipegang.


Dan di tahun 2018 ini juga, setelah beberapa tahun akhirnya aku kembali menjalani pemeriksaan di Rumah Sakit. Mulai dari spesialis Ortopedi, jantung, lalu berakhir ke ahli immunologi dan mendapat diagnosa Juvenile Spondyloarthropathy.

Diagnosa tersebut juga rupanya masih berasal dari diagnosa sebelumnya di tahun 2014 lalu. Perbedaannya terletak hanya pada golongan umur atau tepatnya remaja. Sempat beberapa kali menjalani fisioterapi dan minum beberapa jenis obat, namun karena tidak kunjung adanya perubahan akhirnya aku pun memutuskan untuk tidak ingin melanjutkan pengobatan itu lagi.

***


Aku pun jadi teringat kembali pada seorang Dokter spesialis syaraf yang mendiagnosaku ketika usiaku masih 12 tahun. Saat itu bahkan ia sampai membuka kamus kedokteran miliknya dan menyebutkan istilah dari sebuah penyakit dalam bahasa medis. Mengingat bahwa sebelumnya ia memintaku menggerakkan seluruh bagian persendianku, dan berpesan bahwa aku harus sesering mungkin berlatih menggerakkannya, aku jadi berpikir bahwa mungkin saja diagnosanya saat itu juga adalah FOP, atau Fibrodysplasia Ossificans Progressiva.

Aku saat usia sekitar 18-27 tahun


Jika ada pertanyaan mengapa saat itu aku tidak melanjutkan pengobatan setelah dirujuk ke Rumah Sakit besar, karena Dokter itu mengatakan bahwa penyakit ini adalah sejenis kanker otot dan belum ada obatnya.

Dan karena mengingat saat kecil dulu aku juga pernah menjadi korban Malapraktek akibat dari kesalahan diagnosa seorang Dokter, Orangtua dan keluargaku pun akhirnya memutuskan untuk beralih ke pengobatan alternatif (non medis), yang pastinya juga dengan berbagai pertimbangan sebelumnya.


Berawal dari sebuah kejanggalan misterius yang membuat pergerakanku menjadi semakin terbatas dari tahun ke tahun. Rasanya seperti saat kau ingin bergerak, kau yakin bisa bergerak, namun tubuhmu seolah terkunci sehingga membuatmu tak mampu melakukannya.

Hingga kini, aku masih bertahan dan berjuang melawan penyakit itu. Dengan kondisi yang jelas tidak mudah untuk dijalani, namun tetap berusaha disyukuri karena setidaknya aku masih diberi kesempatan untuk menikmatinya dengan baik.


0 comments:

Post a Comment

 

Suara Hatiku Copyright © 2009 Cookiez is Designed by Bread Machine Reviews | watch free movies online by Blogger Templates