Selain Ibu dan Ayah, ada juga event yang bertemakan cerita Anak. Cerpen yang aku buat ini juga sebenarnya berasal dari kisah nyata saat aku masih SD dulu. Hanya nama para tokoh dan beberapa kejadian yang memang sengaja aku ubah agar ceritanya lebih menarik untuk dibaca. :D
Namanya Typo :'( |
Komik
Naya
“Pagi semua! Apa kabar?” sapa Rana, sambil
melangkah memasuki ruangan kelas lima dengan wajah ceria.
“Hai, Ran! Kabar baik. Tapi …” Tifah
menoleh ke belakang. Raut wajah Naya terlihat murung. Rana pun segera duduk
disamping sahabatnya itu.
“Naya, kamu lagi ada masalah ya? Cerita
doong!” desak Rana, yang berniat ingin membantu. Namun, sikap dan raut wajah
Naya tak kunjung berubah.
“Mungkin,
Naya butuh waktu untuk cerita.” batin Rana, lalu membuka tasnya dan
mengambil buku pelajaran untuk dibaca.
Tak lama kemudian, Fanya dan Riska yang
juga sahabat Rana memasuki kelas. Ketiganya pun asyik bercengkrama hingga wali
kelas masuk dan memulai pelajaran.
“Tifah, kamu kan datang di sekolah lebih
dulu dari aku. Pasti kamu tahu kan, kenapa sejak tadi Naya cemberut kayak gitu?
Riska dan Fanya juga tidak akrab dengan Naya seperti biasanya. Apa mereka
bertiga sedang bertengkar?” tanya Rana penasaran. Tifah pun mulai menjelaskan
masalah yang sebenarnya.
“Iya, Ran. Itu karena komik terbaru Naya
dirusak Fanya dan Riska.” jelas Tifah.
“Lho? Kenapa bisa begitu, Fah?”
“Naya belum mau meminjamkannya, karena ia
sendiri belum selesai membaca komik itu.” lanjut Tifah. “Riska dan Fanya saling
memperebutkan komik itu, sampai akhirnya sampul depannya jadi sobek.”
Setelah tahu permasalahannya, Rana mencoba
sesekali menghibur Naya, juga mencoba membujuk Naya agar mau memaafkan Riska
dan Fanya.
Setelah kurang lebih 2 jam belajar didalam
kelas, bel tanda waktu istirahat pun berbunyi. Semua anak-anak kelas lima
keluar dari kelas kecuali Rana, Naya, Riska dan Fanya. Riska dan Fanya pun mencoba
mendekati Naya yang masih terlihat sedih.
“Naya… maafkan kami, ya! Karena tadi pagi sudah
merusak komikmu.” ucap Fanya dengan terbata-bata. “Iya Nay. Kami berjanji,
nanti akan menggantikan komikmu yang rusak itu.” sambung Riska.
Setelah sejenak berpikir, Naya pun
mengangkat kepala. “Okey, aku maafkan kalian. Tapi, lain kali, jangan merebut
dan merampas barang-barang milik orang lain sebelum diijinkan pemiliknya ya,
itu namanya kalian lancang. Dan satu hal lagi, kalian tidak perlu kok,
mengganti komikku.” kata Naya.
“Lho? Kenapa, Nay? Komikmu sobek, kan
gara-gara kami.” ujar Fanya heran.
“Kan, yang sobek cuman sampul depannya
doang. Tinggal diselotip, utuh lagi, kan?” Naya tersenyum dan merangkul kedua
sahabatnya itu.
“Terima kasih ya Nay, karena sudah mau
memaafkan kami. Sebagai permintaan maaf, ijinkan kami untuk memperbaiki komikmu
yang rusak itu, ya!” ucap Riska dengan perasaan lega.
“Iya, tapi kalian juga harus berterima
kasih kepada Rana, kalau bukan karena bujukan darinya, belum tentu sekarang aku
mau memaafkan kalian.” kata Naya sambil melihat Rana yang tengah sibuk
menghapus tulisan dipapan tulis.
“Thanks
ya, Ran. Kalau bukan bujukan dari kamu, mungkin sampai sekarang aku dan Nasya
masih bertengkar dengan Naya.”
“Nah! Gitu dong, senyum. Jangan pada
cemberut terus kayak tadi. Kita kan sahabat. Jangan saling bermusuhan dong! Iya
nggak?” sahut Rana tersenyum.
Nasya mengangguk setuju. “Bener tuh, Ran!
Mulai sekarang, kita nggak boleh musuhan lagi. Kalau ada kesalah-pahaman lagi
seperti kejadian tadi, kita harus selesaikan pada saat itu juga. Bagaimana?
Kalian setuju?”
Friska, Rana dan Naya mengangguk
sependapat. “Eh, daripada di kelas terus, kita keluar yuk, sebelum bel masuk
berbunyi!” ajak Rana kemudian berlari kecil menuju ke depan pintu kelas.
“Oh, iya ya! Kita ke kantin yuk! Nanti
semuanya aku yang traktir deh!” sahut Naya.
“Kejadian hari ini membuatku menyadari arti
persahabatan. Walaupun hanya sesaat, amarah yang kurasakan hari ini telah membuatku
sadar akan pentingnya arti persahabatan yang kumiliki saat ini. Terima kasih, Tuhan!
” batin Naya, sambil tersenyum berjalan bersama Rana, Friska dan Nasya
menyusuri koridor sekolah.
Pesan Moral :
“Nah! Gitu dong. Sahabat itu, harus saling
memaafkan. Lebih baik jika kita tersenyum menyembunyikan masalah pribadi kita,
daripada harus cemberut, dan membuat mereka bingung dengan sesuatu yang sama
sekali mereka tidak tahu. Apalagi, kalau harus melampiaskan amarah kita kepada
mereka, sahabat kita sendiri. Hal itu malah akan membuat kita kehilangan mereka…”
***