SENYUMAN FIKA YANG MISTERIUS
Pagi
ini adalah jadwal Dinda dan anak-anak kelas enam lainnya untuk melakukan
kegiatan olahraga di lapangan sekolah. Dinda dan teman-teman yang lain pun
segera berlari keluar kelas menuju ke lapangan sekolah.
Tak
seperti biasanya Fika, sahabat karib Dinda. Menolak ajakannya untuk pergi
berolahraga bersamanya. Dinda merasa kesal karena sejak Fika datang ke sekolah
pagi ini, Fika tak pernah sekalipun menyapanya.
Tetapi,
Dinda berusaha untuk tidak marah dan langsung keluar dari kelas, menuju
lapangan sekolah untuk berolahraga dengan teman-teman yang lain.
Rasa
penasaran pun muncul dibenak Dinda setelah pelajaran olahraga dimulai. Karena
Fika tak kunjung keluar dari kelas dan tidak mengikuti pelajaran olahraga.
Pak
Guru pun mulai mengabsen murid-muridnya, setelah nama Dinda disebut, nama Fika
pun menyusul. Tetapi Fika tak kunjung keluar dari kelas. Pak Guru menyuruh
Dinda untuk memanggil Fika di kelas.
Sesampainya
di depan pintu kelas, Dinda melihat Fika sedang duduk dibangkunya sendirian di dalam
kelas sambil tersenyum, dan tertawa sendiri dan tidak mempedulikan Dinda yang
tengah berdiri tepat di depan pintu kelas.
“Kenapa
ya, Fika ketawa-ketiwi sendirian? Padahal, tak ada seorang pun yang ada di kelas
ini. Semua teman-teman kan, di luar?” ucap Dinda yang masih berdiri di depan
pintu kelas dengan perasaan sedikit takut.
Walaupun
sedikit merinding, Dinda memberanikan diri untuk masuk ke dalam kelas dan
memanggil sahabatnya itu untuk mengikuti kegiatan olahraga.
“Fika, kita
keluar yuk, olahraga! Kamu juga sudah dipanggil sama Pak Guru.” ajak Dinda
dengan suara lembut.
“Kamu
duluan aja deh! Nanti aku nyusul. Soalnya ada yang mesti aku selesaikan dulu di
sini.” balas Fika yang berlagak cuek.
“Ya
sudah, kalo nggak mau ikut denganku. Tapi jangan salahkan aku ya, kalau nanti
kamu dimarahin sama Pak Guru!” kesal Dinda dengan nada tinggi, lalu kemudian
keluar dari kelas, dan kembali ke lapangan.
Tak
berapa lama setelah kegiatan olahraga dimulai, Fika pun keluar dari kelas dan mulai
mengikuti kegiatan olahraga dibarisan paling belakang.
Sambil
mengikuti gerakan yang diajarkan oleh guru, sesekali Dinda yang berdiri
dibarisan keempat dari belakang mengamati Fika dari depan.
Setelah
selesai berolahraga, bel tanda istirahat pun berbunyi dan semua anak-anak di sekolah
keluar dari kelasnya untuk beristirahat.
Selama
waktu istirahat, Dinda merasa heran melihat Fika yang sering terlihat duduk
menyendiri dan seolah-olah berbicara dengan seseorang.
“Fika
ngobrol dengan siapa, ya?” ucap Dinda dalam hati sambil memperhatikan Fika dari
kejauhan.
Pulang
sekolah, dan tidak seperti biasanya juga, Dinda tidak pulang bersama Fika.
Dinda pun memutuskan untuk pulang bersama Ferdy dan Malia, teman sekelasnya
yang kebetulan rumahnya searah dengan rumah Dinda.
“Dinda,
hari ini kok kamu nggak pulang bareng Fika?” tanya Ferdy.
“Iya,
ya! Kan, biasanya kamu dan Fika selalu pulang sekolah bareng. Emangnya kamu
lagi marahan ya, sama dia?” sambung Malia.
“Buat
apa pulang bareng Fika. Nanti, aku malah tambah kesal karena dicuekin terus
sama Fika. Soalnya dari tadi pagi aku ajakin ngomong tetep aja aku dicuekin. Tadi
juga, waktu aku coba ajak pulang dia juga menolak. Aku jadi sebel sama dia.” jawab
Dinda dengan kesal.
“Ooh … begitu.
Tapi coba dulu dong, kamu bicara sama dia baik-baik. Dia kan sahabat kamu.
Mungkin, dia lagi ada masalah, ataukah mungkin, sekarang dia lagi sedih.” Ferdy
menyarankan.
“Iya
deh, nanti aku coba tanya sama dia. Eh, udah sampai di rumahku nih! Kalian
berdua mau mampir sebentar nggak?” tanya Dinda kepada Ferdy dan Malia.
“Terima
kasih Dinda. Tapi nggak usah deh! Nanti, mamaku nyariin, lagi. Kalau aku
terlambat pulang ke rumah.” jawab Ferdy, begitupun Malia.
“Ya
sudah. Kalo gitu, aku masuk dulu, ya! Sampai ketemu lagi, besok. Daah …” ucap Dinda.
kemudian berlari menuju depan pintu rumahnya dan melambaikan tangan.
Setelah
masuk ke dalam rumah, Dinda pun langsung masuk ke kamarnya. Dan betapa terkejutnya Dinda ketika melihat Fika sedang asyik
bermain video game di atas tempat tidurnya.
Melihat
Fika yang lancang masuk ke kamarnya tanpa izin, Dinda pun semakin kesal dengan
sikap Fika yang aneh seharian ini.
Dinda
pun berpikir sejenak. “Kalau memang tadi Fika mau ke rumahku, kenapa tadi dia
menolak ajakanku untuk pulang bareng?” ucap Dinda dalam hati sambil melihat
Fika yang sedang asyik bermain game tanpa menyadari bahwa Dinda tengah berdiri
di belakangnya.
“Fika …
kenapa kamu masuk ke kamarku tanpa seizinku?!” teriak Dinda dengan kesal.
Seketika itu juga Fika terkejut dan langsung turun dari tempat tidur, dan
berdiri tepat dihadapan Dinda. “Hari ini kamu aneh banget, deh!”
Fika
pun menundukkan kepala, dan mulai menjelaskan dengan suara lembut
“Sebelumnya,
aku minta maaf ya Dinda. Tadi, pulang sekolah aku dijemput sama mamaku. Dan
waktu aku baru mau mengajakmu pulang sama-sama, katanya kamu udah pulang bareng
Ferdy dan Malia. Dan kebetulan juga, mamaku mau ke rumah kamu untuk bertemu
dengan mama kamu. Tapi, setelah sampai di sini, kata Bibi, mama kamu belum
pulang dari kantor. Aku pun meminta izin kepada mamaku untuk bermain sebentar
di rumahmu dan mamaku mengizinkanku.”
Dinda
mengangguk dan melongo. “Terus?”
”Tapi
karena kamu belum pulang, aku meminta izin kepada Bibi untuk menunggu kamu di
kamar. Karena Bibi sudah mengizinkanku, akhirnya aku menunggu kamu di kamar
ini. Sekali lagi aku minta maaf ya, kalo aku lancang.” jelas Fika dengan suara
pelan dan lembut.
“Kalo
memang bibi sudah mengizinkanmu untuk menunggu di kamarku, kenapa kamu tidak
menungguku pulang dulu kalau kamu mau bermain game? Game itu kan milikku. Artinya
kamu lancang!” tanya Dinda kembali dengan tegas.
“Karena
tadi aku terlalu lama menunggu kamu, dari pada aku duduk berdiam diri disini
tanpa berbuat apa-apa, aku bermain video game saja sambil menunggu kamu datang.
Mungkin karena keasyikkan main game, aku jadi tidak menyadari bahwa kamu sudah
datang. Maafkan aku ya Dinda, kalau aku lancang, dan membuat kamu marah.” ucap
Fika dengan sedikit memelas.
Setelah
sejenak terdiam dan berpikir, akhirnya Dinda pun tersenyum. “Nggak apa-apa kok, justru aku yang minta maaf sama kamu, karena
tadi aku sempat marah-marah sama kamu.” sesal Dinda.
Mereka
berdua pun saling meminta maaf.
“Tapi
Fika, kenapa di sekolah tadi aku lihat kamu sering melamun? Dan kenapa kalo aku
bertanya, kamu selalu nyuekin aku? Kamu juga sering senyam-senyum sendiri.
Kenapa, Fik?” tanya Dinda yang masih penasaran.
“Oh … soal
itu? Sebelumnya aku minta maaf ya, sama kamu. Kalau tadi pagi aku sering
nyuekin kamu. Soalnya aku sedih karena kemarin sahabat didekat rumahku yang
namanya Raima itu pindah keluar kota karena ikut orang tuanya.” jelas Fika
dengan wajah sedih.
“Raima
itu, siapa Fik?” tanya Dinda dengan heran.
“Oh
iya, aku belum sempat cerita soal Raima ke kamu. Raima adalah teman baikku
sejak kecil. Karena rumah kita bersebelahan, dari kecil hampir setiap hari aku
dan Raima selalu bermain bersama. Mungkin karena aku kangen sama dia, aku jadi
suka ngobrol dan ketawa sendiri seolah-olah aku bercanda dengan Raima. Sekali
lagi, aku minta maaf ya Din.” jelas Fika dengan mimik wajah memelas.
“Ng … iya
Fika. Aku juga minta maaf ya. Karena tadi aku udah bentak-bentak kamu. Lagian,
kamu kenapa tidak bilang sama aku. Aku sampai merinding lho, waktu di kelas aku
melihat kamu cengengesan sendirian.”
“Wah.
Beneran kamu Din? Maaf ya. salah aku juga sih. Kenapa juga, aku nggak cerita
soal ini sejak tadi pagi, ya? pasti kesalah pahaman ini nggak bakalan terjadi.”
sesal Fika.
“Nggak
apa-apa, kok Fik. Aku udah lupain semuanya, kok. Yang penting, sekarang kan,
kita udah sahabatan lagi. Semuanya juga udah jelas, kan Fik? Udah, jangan
sedih.” hibur Dinda, sambil merangkul sahabatnya tersebut..
Karena
merasa bersalah karena tadi telah salah sangka terhadap Fika, akhirnya Dinda
pun mengajak Fika bermain video game.
“Oooww...begitu.
Kalau begitu, kita lanjutin main video game-nya yuk.” ajak Dinda, setelah
menyimpan tasnya diatas meja belajar.
“A..yuk.”
tanggap Fika girang.
“Kamu udah
sampai level berapa, Fik?” tanya Dinda sambil membuka baju seragamnya.
“Aku baru
sampai ke level tiga, kok.” jawab Fika sambil asyik bermain game battle.
“Wah,
hebat dong.” sahut Dinda dengan perasaan bahagia dan lega.
Dan
akhirnya, Dinda dan Fika pun bersahabat kembali seperti semula.
By : Winda Aulia Saad
0 comments:
Post a Comment