Aku dan Sepatu hitam karet bertali merah
Saat itu, sekitar tahun 2004. Aku masih
duduk di kelas 3 SD. Usiaku kira-kira baru menginjak angka 9 tahun. Aku
bersekolah di SDN Sudirman III. Salah satu SD Negeri favorit yang jaraknya
cukup jauh dari rumahku. Jika berangkat dengan menaiki angkot, waktu yang
diperlukan adalah 30 menit untuk sampai di sekolah tersebut.
Aku sangat senang dan bersyukur karena
walaupun kondisi fisikku tidak senormal anak-anak seusiaku yang lain, aku tetap
bisa diterima di sekolah formal yang umumnya berisi anak-anak normal yang tidak
memiliki kelainan fisik seperti diriku. Ya, sejak kecil, aku memang sudah
memiliki kelainan pada persendian di lutut kedua kakiku, dan juga leherku. Tapi
aku sangat bersyukur karena sejak usia Taman Kanak-Kanak hingga Sekolah Dasar,
aku tetap bisa bersekolah di Sekolah umum, dan mempunyai banyak teman dan
sahabat-sahabat yang menyayangiku, tidak pernah merasa risih dan
mempermasalahkan keadaanku, dan selalu menerimaku apa adanya.
Kisah aku dan sepatuku ini berawal dari
sepasang sepatu kesayanganku yang dibelikan Mama sejak aku kelas 3 SD dulu. Aku
sangat menyukai sepatu itu, sampai-sampai pada saat pelajaran olahraga yang
membuatku sangat aktif pun, aku memakainya karena terasa sangat nyaman
dikakiku.
Sepatu itu memang bukanlah merk
terkenal. Harganya pun tidak sampai beratus-ratus ribuan. Beralaskan karet
mentah, berwarna hitam, dengan tali berwarna merah zig-zag yang modelnya sangat
sederhana. Karena kondisi fisikku yang sejak kecil memiliki gerakan yang cukup
terbatas, Mamaku pun selalu memilihkan aku sepatu yang beralaskan bahan karet
mentah yang tidak licin sehingga tidak membuatku mudah jatuh karena kehilangan
keseimbangan, ataupun terpeleset di sekolah. Salah satunya adalah sepatu hitam
karet bertali merah yang kupakai saat duduk di kelas 3 dan 4 SD itu.
Suatu ketika, disaat Omku bersama Mama
datang menjemputku dengan mengendarai motor, aku diharuskan untuk duduk di
depan karena postur badanku yang gemuk tidak bisa duduk ditengah. Yang
menariknya adalah, kaki kananku yang sejak kecil memang sudah tidak bisa
dilipat tekuk, akhirnya terpaksa harus menginjak mesin motor yang luar biasa
panasnya. Hari itu mungkin ada sekitar dua tempat yang disinggahi Omku hingga
kami bertiga sampai di rumah.
Dan setibanya di rumah, aku pun
terkejut melihat alas sebelah kanan sepatu kesayanganku yang meleleh karena
panas dari mesin motor yang kupijak selama kurang lebih satu jam diperjalanan
itu. Untung saja, melelehnya tidak sampai menembus kakiku, sehingga sepatu
hitam karet bertali merah itu masih bisa kupakai ke sekolah di hari-hari
berikutnya. Dan walaupun sedikit aneh rasanya jika berjalan dengan sepatuku,
tapi aku berusaha untuk tidak mempedulikan kondisi itu. Bahkan, aku masih bisa
berlari-larian dengan sepatu kesayanganku itu.
Saat itu, lariku memang tidaklah cepat
seperti teman-temanku yang lain. Hal itu terjadi karena persendian di kedua
lututku yang tidak lentur seperti anak-anak lainnya. Tapi aku senang karena
masih bisa bermain dan berlarian bersama dengan teman dan sahabat-sahabatku,
dan juga karena sepatu kesayanganku yang beralaskan karet dan tidak licin. Alas
sebelah kanannya yang terlihat sudah meleleh karena mesin motor yang kupijak
setiap kali aku naik motor, ternyata tidak pernah sekalipun membuatku merasa
risih jika memakainya ke sekolah.
Sepatu itu memang bukan satu-satunya
sepatu yang kumiliki saat kelas 4 SD. Namun yang lebih sering kupakai ke
sekolah hanyalah sepatu hitam karet bertali merah itu. Aku memakainya hingga
naik ke kelas 5 SD. Dan disaat sepatu itu sudah terasa sempit di kakiku, walau
dengan berat hati, akhirnya sepatu kesayanganku itu pun disimpan, dan diganti
dengan sepatu lainnya, ataupun dengan sepatu baru yang pastinya dengan alas
yang berbahan karet.
Aku juga teringat disaat aku masih
duduk di kelas 5 SD. Setahun setelah aku memiliki sepatu hitam karet bertali
merah itu. Saat itu memang untuk pertama kalinya aku memakai sepatu yang tidak
biasa kupakai ke sekolah. Alasnya tidak berbahan karet mentah, dan menggunakan
tali yang harus diikat simpul. Tak biasa aku memakai sepatu itu. Namun karena
keadaan yang memaksa, aku pun memakainya walau hanya beberapa hari.
Waktu itu aku bermain lari-larian
bersama dengan teman-temanku di sekitar lapangan sekolah. Itu memang pertama
kalinya aku menggunakan sepatu itu untuk berlari. Dan akhirnya, setelah
beberapa menit berlarian kesana kemari, aku pun terjatuh disebabkan karena tali
sepatu yang kuinjak. Aku mendapatkan luka di banyak tempat di tubuhku. Mulai
dari lutut, kening, hingga dibawah hidungku pun berdarah karena luka tersebut.
Mulai dari saat itulah, Mama selalu
memilihkan aku sepatu yang tidak bertali, dengan alas yang tidak licin. Mama
tidak pernah mau membiarkanku memakai sepatu bertali, agar aku tetap bisa
merasa nyaman menikmati hari-hariku di sekolah bersama dengan teman-temanku.
Bisa berlari dengan bebasnya tanpa takut jatuh terpeleset. Aku pun bisa
mengerti dengan kekhawatiran Mama yang selalu berusaha melakukan yang terbaik
agar aku tetap bisa bermain dengan senang, dan tidak mudah jatuh lagi seperti
kejadian waktu itu.
Thank you Mom! I Love You :*
***
0 comments:
Post a Comment