Tentang
mereka, sosok cinta yang telah pergi namun selalu ada di hati :)
Namaku
Aulia. Usiaku saat ini sudah menginjak 18 tahun. Sejak usia TK nol besar (TKB),
aku bersama dengan Mama tercinta sudah bermukim di rumah nenek dan kakekku. Ya,
Papaku meninggal saat usiaku baru menginjak 6 tahun. Dan 4 bulan sebelum itu,
adik lelakiku terlebih dulu dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.
Sebenarnya,
dulu itu aku “hampir” memiliki seorang adik laki-laki. Bukan hampir sih
sebenarnya, tapi … memang punya. Hanya saja, dia dipanggil Sang Pencipta tepat
saat ia lahir ke dunia.
Usiaku
saat itu memang masih 5 tahun 11 bulan, yang artinya sebulan setelah itu,
rencananya aku akan merayakan ultahku yang ke 6. Tapi apa mau dikata? Aku harus
merelakan adik kecilku yang lucu itu untuk pergi ke pangkuan Ilahi untuk
selama-lamanya.
Pada
awalnya, aku sempat optimis dengan kelahiran adik yang selamat. Tapi mengingat
saat itu usia kandungan Mama sudah masuk 10 bulan, aku jadi tidak begitu yakin
dengan harapanku saat itu. Memang sih, aku masih kecil. Tapi, aku juga masih
bisa berpikir untuk tidak terlalu optimistis pada saat itu.
Memang
sih, pada saat itu aku pengeeenn sekali merasakan menjadi seorang kakak buat
adikku nanti. Tapi ternyata, Allah berkehendak lain. Warna kehidupanku seakan
berubah pekat. Tepat pada tanggal 04 Januari 2001, adikku lahir, tanpa ada
tangisan lagi yang terdengar pada waktu itu (cerita Mama). Papaku pun
memberinya nama yang sangat baik. Alfian Alif Saad. Sebuah nama yang bagiku
sangat bagus dan indah. Andai saja waktu itu adik tidak pergi, mungkin aku akan
menyapanya dengan nama Alif.
Sebelum
dikuburkan, aku sempat melihat adikku yang mungil, gemuk, pipinya chubby,
hidungnya mancung, bibirnya kecil nan imut, serta rambutnya yang hitam lebat.
Aku juga sempat melihat dia waktu dimandikan oleh Papa, Kakek, dan Omku dari
saudara Papa dan Mama. Aku tidak menangis waktu itu. Senjata rahasiaku hanyalah
“diam”. Semua yang melihatku bahkan tidak bisa menerka apa yang kurasakan saat
itu. Sedih, itu pasti. Tapi aku hanya bisa diam untuk menutupi rasa itu.
Pada
akhirnya, adikku yang mungil, berkulit putih bersih, dan berpipi chubby itu pun dimakamkan di halaman
rumah nenek. Aku sempat berada sangat dekat waktu dia dikuburkan. Aku masih
ingat jelas pada saat itu. Bingung, heran, tapi hanya terdiam menyaksikan
penguburan adik kecilku yang mungil itu. Kuburan kecilnya yang berwarna biru langit
itu berada tepat di depan pintu masuk rumah nenek (agak jauh sedikit) dan
dilindungi beberapa pot bunga besar yang mengelilingi makam adik.
Sampai-sampai, bila ada orang baru yang berkunjung ke rumah nenek pun tidak
mengetahui keberadaan makam adikku itu.
Merasa
takut? Tidaaak! Aku malah merasa sangat dekat dengan adik. Karena kapan pun aku
ingin mengunjunginya, aku tinggal keluar rumah, dan melihat makam kecilnya itu.
Itu sudah cukup untuk mengobati rasa rinduku padanya.
Tidak
seperti makam Papa yang berada di kampung. Jauuuhh… banget! Selama aku sakit
kira-kira 5 tahun lamanya sejak 2007 lalu, baru sekali aku pergi ke makamnya
Papa. Itupun tidak sampai didekatnya. Waktu memasuki area pemakaman,
sampai-sampai aku harus digendong oleh Omku (kakaknya Mama). Dan karena disana
sudah banyak sekali makam, aku jadi sulit untuk mencapai makam Papa. Terpaksa
deh, aku hanya bisa mendoakannya sambil duduk ditembok makam orang lain.. Nenek
pun sampai bilang kepadaku, untuk memberitahu Papa. “Papa, aku di sini! Mendoakanmu,
dan selalu merindukanmu!”
Jadi,
untuk kalian yang masih memiliki Orang tua yang lengkap, apalagi seorang Papa,
sayangilah mereka! Mereka selalu berjuang dan berusaha untuk kebahagiaanmu.
Jangan pernah sekalipun berpikiran buruk terhadap mereka, walaupun mereka
pernah berlaku tidak baik terhadapmu. Ingat selalu! Tanpa adanya mereka, kalian
tidak akan pernah bisa menikmati dunia indah yang sekarang kalian rasakan ini.
Sayangilah mereka! Karena Papa, Ayah, Mama, Ibu, Bunda, atau apapun sebutan
mereka adalah harta yang paling berharga yang kalian dapat, “Sejak kalian
pertama kali menghirup nafas di dunia ini”.
***
With my Papa :*
(1995)