Aku memulai sekolahku
di sebuah Taman Kanak-kanak umum bernama TK BLKI (Balai Latihan Kerja Industri)
Makassar, beberapa bulan setelah pindah dari kota Dili. Usiaku saat itu kira-kira
masih 4 tahun. Karena aku dan teman-teman masih kecil, jelas tak pernah ada masalah
saat aku di sekolah. Aku bersekolah disana selama 2 tahun, karena faktor belum
cukup umur.
Di sekolahku
selanjutnya, SDN Kompleks Sudirman I, II, III, IV, dan kelas unggulan, aku
memulai suasana belajar yang baru. Mungkin, hanya aku satu-satunya murid yang difabel
di sekolah itu. Ya, sekolah itu memang merupakan sekolah umum dan bahkan salah
satu favorit di kota Makassar. Letaknya yang berada di jalan Jend. Sudirman dan
tepat diseberang jalan lapangan Karebosi Makassar, dan tak jauh dari kawasan
Mall MTC, menjadikan kawasan ini selalu ramai.
Sejak kelas 1 hingga
lulus, aku masuk dan belajar di kelas Sudirman III. Pada awalnya, guru-guruku
sempat ragu untuk menerimaku bersekolah disana. Mungkin mereka takut dengan
fisikku yang berbeda akan menjadi bahan ejekan bagi siswa lainnya. Namun keadaan
fisik yang tidak normal bukan berarti otak juga tidak normal, kan? :)
Selama 6 tahun aku
bersekolah disana, dengan keadaan fisik yang sedikit berbeda, tak bisa
dipungkiri jika aku aman-aman saja. Pastinya dalam sehari ada anak dari kelas
lain, ataukah kelas Sudirman lain yang mengejekku dengan ucapan meremehkan. Ada
yang bilang kepala miring, si pincang, atau apalah itu. Bahkan, ada beberapa
diantara mereka yang sampai mengikuti posisi leherku yang miring. Lucu sih ya..
tapi cakiiitt!! Hahah.. *lebay’ah :D
Pertanyaanku saat itu,
“Ada apa dengan mereka?” lalu, “Sudah diberi leher yang lurus sama Allah kenapa
harus sibuk-sibuk mengejek keadaan orang lain?” dan, “Apakah mereka tidak
bersyukur dengan apa yang mereka miliki?”
Sebagai anak kecil yang
belum mengerti, mungkin itu wajar. Aku pahami itu. Mama yang sering melihatnya
juga tak ingin membuat keadaan itu menjadi masalah yang berarti. Itu karena
Mama ingin aku tidak jadi orang yang pendendam. Jika aku membalas ejekan
mereka, apa bedanya aku dengan mereka? Aku berusaha untuk cuek saja dengan
sikap anak-anak itu. Mungkin mereka memang belum mengerti arti sebuah perbedaan
fisik.
Menjadi anak yang
difabel tak pernah menjadi masalah bagiku. Di sekolah, aku bisa bermain bebas
dengan teman dan sahabat-sahabatku yang lain. Mereka tak pernah sekalipun
mempermasalahkan perbedaanku. Mungkin hal ini berbeda dengan temanku yang
laki-laki. Entah sungguh-sungguh atau hanya sekedar bercanda, mereka mengejekku
dengan kata-kata yang tidak enak. Tapi aku tenang saja. Jika siswa dari kelas
lain sudah biasa mengejekku, apalagi yang sekelas denganku? Bagiku, itu sudah
biasa. Setahuku, karena sudah mengenalku sejak kecil, teman-teman sekelasku itu
sudah paham dan terbiasa dengan kondisiku yang berbeda. Yang berbeda kan hanya fisik,
bukan otak dan pemikiran.
Aku jadi teringat suatu
kejadian, disaat salah satu temanku yang laki-laki terlalu asyik mengejek
keadaanku. Sepertinya kesabaranku tak pernah berlaku pada anak ini. Ia seolah
tak mau berhenti, dan akhirnya membuatku geram. Aku bangkit, dan berlari
mengejarnya. Namanya Fadil. Diantara teman sekelasku, memang dia yang paling
sering mengejekku. Kami pun sering berkelahi sampai baku pukul. Kenapa dia
memukulku? Ya karena aku terlalu kesal, aku pun membalas ejekannya dengan
mengatai dia “To’be”. xD
Belum tahu artinya? Itu
karena bibir bawahnya yang tebal. Kalau bahasa yang biasa kita dengar sih,
namanya “Dowerr”. Hihihi …
Selain Fadil, ada juga
beberapa anak laki-laki yang kata-katanya seakan tak pernah absen membuatku
sebal. Entah itu hanya bercanda atau tidak, aku selalu berusaha untuk cuek.
Kecuali yang namanya Fadil itu.
Permainan favorit
bersama sahabat-sahabatku saat itu adalah “BOM” (didaerah lain biasa disebut
“Benteng”). Semacam permainan kejar-kejaran yang terdiri dari umpan, pengejar,
dan penjaga BOM. Nah, karena aku tak bisa berlari cepat, aku jadi sering
menjadi penjaga BOM. Tapi, menjadi penjaga itu sulit juga loh! Karena harus
melindungi pohon/benda yang dijadikan BOM, serta mangsa yang tertangkap dari
lawan pemain. Terkecoh sedikit saja, satu tim langsung kalah.
Tapi ada satu permainan
yang tak berani aku mainkan bersama teman dan sahabat2ku. Dende Unyil. Sejenis
permainan kejar-kejaran dengan pengejarnya yang hanya menggunakan satu kaki
alias Dende. Karena seringkali melihat temanku jatuh dan berdarah akibat
permainan itu, aku jadi takut dan tak pernah ingin ikut bermain.
Oh ya, ada satu ceritaku
tentang permainan Dende Unyil ini. Yang membuatku trauma dan kapok ikut bermain
ini di sekolah. Yup, apalagi kalau bukan jatuh! xD
Waktu itu, aku ingat
banget pas lagi nunggu teman-teman shalat dhuhur sepulang sekolah, sebelum
mulai pelajaran tambahan (les). Iseng-iseng aku coba main bareng teman2. Baru main
beberapa menit, aku lari-larian karena dikejar, tepat didepan kantor guru aku
langsung jatuh tersungkur nyaris mencium aspal. Tahu lah, sejak kecil aku tidak
memiliki keseimbangan yang cukup untuk menahan tubuhku. Jika mau jatuh, ya udah
jatuh aja. Lututku berdarah, wajahku biru-biru. Uhh, perih banget rasanya waktu
diobati guruku dengan alkohol. Nah, sejak saat itulah, aku nggak mau lagi main
Dende Unyil di sekolah.
Begitu banyak kenangan
dimasa kecil yang tak mudah terlupakan olehku. Terlebih karena saat-saat itu
adalah masa dimana aku tumbuh dengan ceria, tanpa menyadari suatu perbedaan
yang ada pada diri ini. Seolah tak pernah ada rasa minder, dan selalu enjoy.
Seiring berjalannya
waktu, aku pun menyadari yang selama ini tak pernah kusadari. Dipostingan sebelumnya
aku pernah bilang, bahwa lebih menyenangkan jika tidak menyadari diri ini
berbeda, daripada menyadari bahwa sebenarnya diri ini berbeda dengan manusia
normal lainnya.
Tapi satu hal yang pasti,
tak ada yang sempurna di dunia ini. Di mata Allah semuanya sama. Aku, kamu,
dia, dan mereka pastinya mempunyai kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Jadi,
jangan pernah putus asa dan menyesal atas apapun yang terjadi dalam hidupmu. Pilihlah
yang terbaik, dan lakukan yang terbaik. Dan yakin, bahwa kau telah memilih yang
terbaik. Semangat!! ^_^
“Aku adalah aku.
Selamanya tetap akan menjadi aku. Begitupun kamu.
Karena, menjadi diri
sendiri itu lebih baik, daripada harus menjadi bayangan orang lain. Kita juga
memiliki hidup kita sendiri. Bukan orang lain. Maka, beranilah menjadi diri sendiri.
Karena itu lebih baik.”
0 comments:
Post a Comment