Namaku Lhia. Panggilan
kecil dari Winda Aulia Saad. Lahir di kota Dili, negara Timor Leste, yang saat
itu masih berupa wilayah provinsi di Indonesia dgn nama Timor Timur. Yang
artinya, aku masih merupakan Warga Negara Indonesia (WNI).
Papa dan Mamaku sebenarnya
asli Makassar, namun sejak setahun sebelum aku dilahirkan, mereka hijrah ke
kota Dili untuk memulai usaha baru, bersama dengan saudara2 Papa lainnya, yg
juga sudah lama tinggal disana. Aku dan saudara2 sepupuku pun lahir di kota
tersebut.
Saat itu, sekitar tahun
1990an sampai tahun 2000 keadaan di kota Dili dan sekitarnya memang sedang
tidak aman. Dimana-mana terjadi kerusuhan, tawuran, dan pertikaian yg cukup
banyak memakan korban harta maupun jiwa. Kata Mama, pada saat jelang
kelahiranku, rumah kami bahkan jadi sasaran lempar batu oleh sekelompok warga
yang saling bermusuhan. Juga saat di Rumah Sakit tempatku dilahirkan, dokter
sampai tidak mau pulang dulu sebelum aku lahir, karena takut nantinya untuk
kembali ke RS akan sulit akibat berbagai kerusuhan di wilayah itu.
Menurut sejarah yang
kubaca, dan juga cerita dari Mama, penyebab semua peristiwa itu adalah karena
adanya kecemburuan sosial antar masyarakat asli terhadap masyarakat pendatang
di daerah Timor Timur. Yaa.. bisa dibilang, keluargaku juga termasuk masyarakat
pendatang.
Hingga pada tahun 1999,
kami sekeluarga pun hijrah kembali ke kota Makassar. Kota asal keluargaku yang
sebenarnya, meski kampung halamanku yang sebenarnya ada di kota Dili, kota
tempatku dilahirkan. Tapi gapapa lah, daripada terus tinggal disana, daerah
yang sudah tidak aman lagi bagi kami saat itu.
***
Aku terlahir sehat,
hingga pada usiaku yang menginjak 4 bulan telihat ada kelainan yg pada akhirnya
membuatku berbeda dgn anak-anak lain. Sejak operasi dibagian perut pada usia
1,5 tahun, aku tetap dapat bermain ceria dengan teman dan saudara2 sepupuku
yang normal.
Bisa dibilang
pertumbuhanku normal. Yang membedakan hanyalah aku tak dapat menikmati fase
merangkak seperti bayi-bayi lainnya. Apakah hanya dengan itu artinya aku tidak
normal? Kurasa tidak. Banyak juga bayi-bayi yang pernah mengalaminya. Namun
kelainan itu cukup terlihat setelah aku dapat berdiri dan berjalan. Di usiaku
yang ke 2 tahun, aku belum bisa berdiri tegak. Setelah 3 tahun barulah aku
dapat berjalan tegap seperti anak-anak lainnya, meski dengan kaki yang sedikit
diseret.
Sampai disitu, apakah
aku berbeda? Aku masih belum merasa benar jika jawabannya “Iya”
Melihat foto-foto diatas mungkin kelainan itu tidak nampak begitu jelas. Aku sama seperti anak-anak lain seusiaku, yang banyak orang bilang lucu dan menggemaskan. Namun, coba lihat lebih detil pada kedua ibu jari kakiku, juga leherku yang sedikit miring kekiri. Itu bukannya sengaja kulakukan, atau sekedar hobi jika difoto suka bergaya seperti itu. Bukan, tapi itulah fisikku yang sebenarnya. Itulah yang membuatku berbeda dengan anak-anak lainnya. Mungkin saja, karena saat itu aku sama sekali tak pernah merasa ada yang aneh dengan diriku.
Walau begitu, semasa
kecil hingga Sekolah Dasar aku tak pernah merasa berbeda. Bermain dengan
teman-teman yang normal tak pernah menjadi masalah bagiku. Jika diantara mereka
ada yang mengejek, aku cuek saja. Kadang juga aku heran melihat orang lain
menatapku dengan wajah heran, lalu mereka tersenyum dan bilang aku cantik, lucu,
gemesin, bodyku bagus, dan lain2. Apakah ucapan itu sama dengan hati mereka?
Entahlah, aku juga tak ingin memikirkan hal semacam itu. Hanya akan mengganggu
aktivitas yang aku senangi, dan yang masih dapat aku lakukan.
Dimasa kecilku yang
bagiku sangat indah itu, juga dengan nama Indah. Ya, sbenarnya sejak kecil
hingga usiaku 13 tahun aku memiliki sapaan akrab Indah. Barulah pada usiaku
yang menginjak 13 tahun, namaku yg sebelumnya adalah Winda Silvia Saad, diganti
menjadi Winda Aulia Saad, dengan sapaan baru yakni Aulia, atau Lhia.
Rasanya berat jika
harus merelakan nama itu diganti. Cukup banyak kenanganku yang indah bersama
nama Indah itu. Tapi nggak apa2, toh yg diganti kan cuma nama tengah dan
sapaannya. Aku tetap memakai dua nama pemberian almarhum papa, Winda dan juga
Saad (marga)
Heran melihat foto
diatas? Agak gemuk ya? Hehe, chubby chubby gimanaa gitu :D Itu memang aku,
waktu masih kelas 4 SD dulu. Kira-kira, 11 tahun lah. Dan karena gemuk, posisi
leherku pun tidak terlalu nampak miring. Hanya cara jalanku yang sedikit
berbeda. Mama juga sering memberitahuku untuk sedikit menekuk kaki kanan jika
berjalan, agar tidak seperti diseret. Tapi kadang-kadang juga aku suka lupa dan
jalan saja dengan santai, tanpa memikirkan pandangan orang-orang yang
melihatku. Yang penting aku masih bisa jalan normal, toh yang berbeda juga
hanya sedikit. Aku bersyukur dengan semua keadaan itu. Meskipun kenyataannya
memang berbeda dengan teman-teman lainnya.
Inilah kisah masa kecilku. Masa dimana aku tumbuh, dengan berbagai warna yang menghiasi hidupku. Tanpa ada rasa rendah diri, dan tetap santai menjalani hidup tanpa beban yang berarti. Masa kecil memang masa yang paling indah, namun seringkali tak pernah disadari. Kita baru menyadarinya disaat kita tumbuh remaja, dan beranjak dewasa. Kenanglah masa-masa itu dengan indah, dan wujudkan harapan yang pernah terlintas dipikiran, atau yang pernah kau ucapkan saat itu. Masa remaja atau dewasa akan membimbing kita menjadi apa yang kita impikan sejak kecil dulu.
Inilah kisah masa kecilku. Masa dimana aku tumbuh, dengan berbagai warna yang menghiasi hidupku. Tanpa ada rasa rendah diri, dan tetap santai menjalani hidup tanpa beban yang berarti. Masa kecil memang masa yang paling indah, namun seringkali tak pernah disadari. Kita baru menyadarinya disaat kita tumbuh remaja, dan beranjak dewasa. Kenanglah masa-masa itu dengan indah, dan wujudkan harapan yang pernah terlintas dipikiran, atau yang pernah kau ucapkan saat itu. Masa remaja atau dewasa akan membimbing kita menjadi apa yang kita impikan sejak kecil dulu.
*Hidup akan lebih mudah jika kita pandai bersyukur*
0 comments:
Post a Comment